Anger Manner, Perlu Dilatih agar Kemarahan Tetap Elegan dan Efektif

Marah. Semua orang pasti pernah merasakannya karena berbagai sebab. Yang jelas, orang jadi marah itu karena ada hal yang sangat amat tidak sesuai, bahkan berlawanan, dengan apa yang dia pikir atau dia rasa.

BESAR kecilnya rasa marah bisa bergantung dari besar kecilnya hal yang dipikir atau dirasa bertentangan. Misalnya, rasa marah karena karyawan datang terlambat mungkin tidak sebesar jika mereka berkhianat atau mencuri uang perusahaan besar-besaran.

Lepas dari besar kecilnya hal atau perilaku yang dianggap kesalahan atau kekecewaan, marah itu adalah tentang dua hal, yakni rasa marah dan sikap marah.

Rasa marah, sekali lagi, pasti terjadi karena ada hal yang tidak sesuai/berlawanan dengan pikiran dan perasaan seseorang. Yang efeknya bisa melukai, sangat mengecewakan, menyepelekan, menghina, atau melecehkan. Kita sebut saja kekecewaan, meski level kekecewaan itu tentu berbeda-beda. Mulai kecewa biasa hingga yang menimbulkan luka teramat dalam atau kekecewaan yang amat sangat menyakitkan.

Sikap marah. Bagaimana bisa berpikir tentang manner (tata krama) jika sedang marah, kecewa, atau jengkel? Iya, memang, kebanyakan saat sedang merasa disakiti, dikecewakan, atau dikhianati, tentu emosi kita pasti meletup tidak keruan. Ingin kita ledakkan dan marahkan kepada orang terkait.

Pertanyaannya, apa pun yang kita anggap kesalahan atau kekecewaan:

a. Saat sikap marah kita menjadi marah-marah, atau bahkan mengamuk, apakah itu efektif secara dampak?

b. Apa yang bisa kita dapatkan dengan marah-marah (apalagi memaki-maki)?

c. Bagaimana kira-kira yang kita marah-marahi? Nyamankah mereka, atau punya kesempatan menjelaskan apa pun?

d. Perlukah punya elegansi yang menunjukkan personal atau professional image kita?

e. Sikap marah yang meledak-ledak itu, bisakah kita ganti dengan sikap lain?

f. Siapa yang bisa memutuskan dan memilih bagaimana bersikap dalam rasa marah?

Apakah mudah bersikap dengan tata krama saat marah atau terluka? Pasti tidak. Namun, kita bisa membangun sebuah mindset tertentu tentang sikap marah. Misalnya, marah itu merupakan sebuah emosi yang pasti bisa dilatih untuk dikendalikan. Kesalahan atau hal yang mengecewakan tersebut adalah untuk dibenahi. Jadi, ketimbang marah-marah, justru wajib dikomunikasikan supaya tidak terulang. Atau, bisa pula tiap ada kesalahan apa pun, yang pertama wajib dikoreksi adalah diri saya. Betulkah saya tidak ikut andil dalam terjadinya kesalahan itu?

Satu lagi, sepanjang kelakuan mereka yang menyakitkan itu (misalnya, gosip/hasut/syirik) tidak merugikan saya, ngapain saya mesti marah-marah?

Nah, pertanyaan-pertanyaan di atas, semoga bisa bikin kita memahami. Rasa marah tidak bisa dihindari. Namun, sikap marah yang efektif dan elegan, kitalah aktornya. (*)


*) BABY JOEWONOFounder & trainer of Baby Joewono Soft Skills Center


Credit: Source link