APINDO Beri Catatan Kritis Soal Perppu Cipta Kerja

APINDO Beri Catatan Kritis Soal Perppu Cipta Kerja

JawaPos.com – Peraturan Pengganti Undang-undang (Perppu) Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja telah terbit dan diteken Presiden Jokowi pada Desember 2022. Terkait itu, Asosiasi Pengusaha Indonesia (APINDO) memberikan sejumlah catatan kritis.

Ketua Umum APINDO Hariyadi Sukamdani mengatakan saat ini APINDO secara khusus mencermati substansi PERPPU untuk klaster ketenagakerjaan.

“Mengingat klaster ketenagakerjaan yang sangat luas mendapat perhatian berbagai pihak dan juga klaster yang menjadi fokus perhatian utama aktivitas APINDO. Mengenai klaster klaster lainnya akan ditinjau lebih lanjut secara terpisah,” kata Haryadi dalam konferensi pers di Jakarta, Selasa (3/1).

Ia menjelaskan, ada beberapa pengaturan dalam klaster Ketenagakerjaan di PERPPU berubah secara substansial. Pertama, formula penghitungan Upah Minimum (UM) yang mempertimbangkan pertumbuhan ekonomi, inflasi dan indeks tertentu.

Menurutnya, formula tersebut memberatkan dunia usaha mengingat UU Cipta Kerja hanya mencakup satu variabel, yaitu pertumbuhan ekonomi atau inflasi. Kedua, APINDO juga menyoroti soal ppengaturan alih daya atau outsourcing yang juga diubah.

Dalam Perppu 2/2022 diatur bahwa Pemerintah menetapkan sebagian pelaksanaan pekerjaan alih daya, yang kata Haryadi, dikhawatirkan kebijakan itu kembali ke spirit UU 13/2003 tentang Ketenagakerjaan.

“Mengenai Alih Daya yang diperlukan adalah terciptanya Ekosistem yang sehat dan fleksibel untuk menarik investor menciptakan lapangan kerja, maka pembatasan alih daya justru akan membuat tujuan tersebut sulit dicapai,” jelasnya.

Haryadi mengungkapkan, formula upah minimum dalam PERPPU akan menyebabkan penyusutan penyerapan tenaga kerja karena UM Indonesia berpotensi menjadi yang tertinggi di ASEAN dalam 5 (lima) tahun mendatang.

Dalam kondisi penciptaan lapangan kerja yang semakin menurun berdasar data dari BKPM (Badan Koordinasi Penanaman Modal) dimana dalam 7 tahun terakhir daya serap pekerja turun tidak sampai 1/3 nya.

“Kebijakan kenaikan UM berdasar formula PERPU akan semakin membebani dunia usaha. Proyeksi yang dilakukan APINDO dengan mengolah dari berbagai sumber menunjukkan bahwa di tahun 2025 UM di Indonesia akan menjadi yang tertinggi di ASEAN,” ungkapnya.

Terkait hadirnya PERPPU, APINDO berharap perubahan substantif tersebut harus diletakkan dalam konteks reformasi ekonomi struktural untuk penciptaan lapangan kerja dan mengurangi kemiskinan. Dalam perspektif dunia usaha, tujuan diterbitkannya UU Cipta Kerja adalah untuk kemudahan penciptaan lapangan kerja agar masyarakat memiliki daya beli yang berkontribusi mengurangi kemiskinan.

“Pemerintah diharapkan menimbang dengan cermat kemampuan membayar perusahaan, secara khusus usaha padat karya serta keterbatasan keterampilan sumber daya manusia yang masih didominasi tenaga kerja dengan keterampilan rendah,” tambahnya.

Oleh sebab itu, pelaku usaha mengharapkan dilibatkan secara aktif dalam penyusunan PP turunan dari PERPPU 2/2022. Aturan operasional yang akan dituangkan dalam PP menunjukkan fleksibilitas yang diperlukan pemerintah untuk antisipasi menghadapi dinamisnya perubahan bidang ketenagakerjaan sesuai tuntutan perkembangan industri dalam hal teknologi, kondisi kerja dan keterampilan kerja dalam kaitannya dengan pengupahan, pekerja alih daya dan sebagainya.

Lebih lanjut, pemerintah dan DPR diharapkan menyikapi PERPPU tersebut secara bijak dan tidak terdistorsi dengan agenda agenda politik. Sebagaimana ketentuan ketatanegaraan, PERPPU akan dibahas.

“Dunia usaha mengharapkan keputusan yang diambil mencerminkan kepentingan pembangunan secara menyeluruh sejalan dengan agenda reformasi ekonomi struktural. Sangat diharapkan keputusan tersebut tidak terdistorsi untuk kebutuhan populis kepentingan agenda siklus kepemimpinan lima tahunan,” tandasnya.

Editor : Eko D. Ryandi

Reporter : R. Nurul Fitriana Putri


Credit: Source link

Related Articles