Bangkrutnya Silicon Valley Bank Jadi Sentimen Positif Jangka Menengah

JawaPos.com – Bangkrutnya Silicon Valley Bank (SVB) membawa sentimen negatif bagi perbankan Amerika Serikat (AS). Yang kemudian dikhawatirkan berdampak pada perbankan lainnya. Mengantisipasi hal tersebut, regulator akan menanggung deposan dari SVB pada malam lalu. Kondisi ini lantas berdampak pada sentimen positif secara umum dari sektor finansial global.

“Pernyataan tersebut kemudian juga berimplikasi bahwa dampaknya pada startup yang menempatkan dananya di SVB sangat terbatas,” kata Chief Economist Permata Bank Josua Pardede kepada Jawa Pos, Rabu (15/3).

Sejak tahun lalu, startup secara global mengalami penurunan kinerja. Hal itu berdampak pada pemutusan hubungan kerja (PHK) di berbagai belahan dunia. Investor akan cenderung lebih berhati-hati dan selektif untuk mendanai startup. Sehingga terjadi potensi penurunan dari sisi nilai.

Secara historis, pendanaan akan semakin sulit ketika suku bunga naik seperti saat ini. Di tambah sentimen negatif dari kejadian SVB. “Tapi, dalam jangka panjang tentu akan kembali melihat fundamental ekonomi kita, kalau memang tetap prospektif, tentu akan kembali lagi pendanaan itu kesini,” terangnya.

Sejak berita penurunan kinerja SVB mencuat, sentimen risk-off cenderung mendominasi pasar global. Yang kemudian mendorong pelemahan rupiah. “Namun, sejak diumumkannya bahwa regulator AS akan menanggung dana deposan, hari ini rupiah cenderung bergerak menguat hingga ke level Rp 15.400,” imbuh Josua.

Yield (imbal hasil) obligasi AS juga cenderung menurun. Seiring dengan sentimen risk-on yang menguat. Di jangka panjang, bila peristiwa ini tidak memicu krisis keuangan di AS, dampaknya terhadap aset-aset keuangan cenderung terbatas.

Sementara itu, dampak dari bangkrutnya SVB secara umum belum akan mendorong pelemahan PDB Indonesia. Kecuali bila krisis perbankan ini menjadi trigger lanjutan dari krisis global seperti 2008. Dari kondisi tersebut, regulator di AS sepertinya mempunyai early warning system tersendiri agar kasus 2008 tidak terluang.

Sehingga potensi krisis lanjutan relatif cukup kecil. Bagi pemerintah, dalam hal ini KSSK, kasus SVB dapat menjadi pelajaran penting terkait concentrated risk serta risiko dari kepemilikan obligasi di sektor perbankan. Bila tidak dikelola dengan baik, berpotensi mendorong krisis likuiditas perbankan.

Meski dampak rambatan negatifnya ke sektor perbankan Indonesia cenderung terbatas. Selain itu, kondisi sektor keuangan, terutama perbankan, di Indonesia saat ini cenderung solid. Mempertimbangkan kondisi likuiditas yang longgar. Tercermin dari Alat Likuid/Dana Pihak Ketiga dan Alat Likuid/Non Core Deposit di atas thresholdnya.

“Kondisi solvabilitas perbankan Indonesia juga masih solid sehingga dampak rambatannya ke sektor keuangan terutama perbankan Indonesia cenderung terbatas,” tandasnya.

Hal senada disampaikan analis pasar modal Hans Kwee. Kebangkrutan SVB Sepertinya tidak terdampak signifikan. Perbankan di Indonesia tidak punya transaksi maupun eksposur terhadap bank-bank yang collapse di AS.

“Selain itu, kasus seperti di bank tersebut karena rugi di obligasi yang banyak itu tidak terjadi di dalam negeri. Karena yield obligasi Indonesia tidak berubah banyak,” jelasnya saat dihubungi tadi malam.

Kemudian, likuiditas perbankan domestik sedang bagus. DPK naik, penyaluran kredit selektif, dan rata-rata net interest margin (NIM) bank-bank di Indonesia tinggi. Artinya, profitnya tebal sehingga kasus kebangkrutan SVB tidak terjadi di Indonesia.

Di sisi lain, memang berdampaknya ke pasar saham yang rontok akibat sentimen tersebut. Sebab, biasanya jika pasar saham AS turun, investor asing menjual kepemilikan sahamnya di seluruh dunia. Mengingat, ketika terjadi kebangkrutan bank, maka membuat risiko global naik. Sehingga, investor global akan menjual surat berharga yang dianggap berisiko. Salah satunya adalah saham di emerging market.

“Makanya pasar saham Indonesia ikut terkoreksi Tapi, ini sentimen jangka pendek,” ujar dosen Fakultas Ekonomi Bisnis Universitas Trisakti itu.

Untuk sentimen jangka menengah justru akan membuat The Federal Reserve (The Fed) tidak menaikkan suku bunga acuannya lagi secara agresif. Nah, ini cenderung positif bagi pasar saham.

Memang fenomena startup saat ini sedang susah. Karena banyak venture capital yang berinvestasi di startup menderita kerugian. Hal itu membuat mereka mengubah kebijakan dengan hanya akan menanamkan modalnya pada startup yang untung.

Apalagi tren suku bunga bank sedang naik. Ketika suku bunga tinggi, cost of fund venture capital naik. Sehingga stratup yang mau didanai itu menghadapi permintaan return yang tinggi.

“Periode ini tentu membuat startup yang nggak bisa bertahan tutup,” ucap Hans.

Editor : Dhimas Ginanjar

Reporter : Agas Putra Hartanto


Credit: Source link