Barry Maheswara Bicara Posisi Label di Era Streaming Digital

Tanpa label, kini siapa saja bisa merilis karyanya lewat digital streaming platform. Tapi, hal itu tidak lantas menghapus keberadaan label. Mereka tetap ada dan menjadi wadah berkembang bagi para musisi.

LALU, apakah ada perbedaan antara label saat ini dan 10–15 tahun sebelumnya? Bagaimana mereka bekerja di masa ”persaingan bebas” seperti saat ini? Berikut wawancara Jawa Pos dengan Barry Maheswara, A&R director Warner Music Indonesia, pekan lalu. Barry telah menangani Rahmania Astrini, Hanin Dhiya, Kara Chenoa, hingga Kotak.

Pada zaman ramainya musisi baru saat ini, bagaimana menemukan bakat baru?

Kami browsing dari digital streaming platform. Kami lihat matriksnya, perhatiin chart-nya. Dulu kalau scouting itu dari kafe ke kafe, pensi (pentas seni) ke pensi, sekarang bounce back-nya dari platform ke platform. Kalau memang bagus, profiling-nya kuat, why not?

Berarti apakah musisi yang direkrut label saat ini sudah punya nama dan karya?

Kurang lebih seperti itu. Sudah punya nama pun bukan berarti udah ”besar”. Bukan yang karyanya sudah banyak. Baru mulai berkarya pun enggak apa-apa. Yang kita lihat dan assess, seberapa besar potensi mereka berkembang nantinya.

Dengan banyaknya musisi dan label independen, apakah keberadaan label rekaman mayor hilang?

Masih ada. Tapi, staging untuk mencari musisinya yang terbalik. Dulu kami menjadi akses untuk merilis karya buat musisi. Kesannya, record label itu ”eksklusif” banget. Hari ini terbalik. Musisi punya banyak akses untuk merilis lagunya. Kami membuka pintu dan menjemput bola untuk kolaborasi, tentu dengan prinsip win-win.

Sekarang selain menulis lagu sendiri, musisi juga bisa memasarkan lagu secara mandiri. Lalu, di mana peran label dalam rilis itu?

Peran label, dari sudut pandang saya sebagai A&R director, itu sering kali misterius. Ada anggapan, kami kokinya, yang ngegodok dan nyiapin. Padahal, nggak seperti itu. Yang ”masak” nih artisnya juga. Dulu zaman major label jaya-jayanya, A&R punya pola ”tangan besi”. Mereka pegang keputusan tentang karya yang turun ke pasar. Tapi, di kultur Warner sendiri, A&R lebih memberikan dukungan dan guidance. Kami jadi sparring partner, membangun kreativitas mereka tanpa mengubah warna yang sudah mereka punya, yang kami percaya memang bagus.

Bicara tentang ”warna” musisi. Dengan paparan musik tanpa batas, apakah seorang musisi bisa kehilangan warna?

Saya berpikir gini, warna seorang musisi nggak akan hilang. Berkembang, berubah, atau menjadi sesuatu yang baru, iya. Contohnya, Isyana Sarasvati. Dia jadi sangat rock di rilisan baru. Apakah warna seorang Isyana hilang? Tidak. Isyana yang dulu masih ada. Warna suaranya yang berbasis musik klasik dan teknik bernyanyinya masih sangat Isyana.

Lalu, bagaimana label dan musisi merespons opini pendengar yang menilai musisi mereka berubah (dalam konteks kurang positif)?

Dari segi musisi, kita enggak mungkin bisa dipaksa berkreasi atau menghasilkan karya yang sama. Yang terjadi, dia akan jenuh. Creative drive-nya hilang sehingga karyanya template. Sementara itu, label melihat dari komersialisasi musik. Kita berikan ruang eksplorasi, tapi juga paparkan data ketika ”hasil akhirnya” keluar. Kami inisiasi diskusi, either mereka kembali ke pakem lama atau eksplorasi gaya baru. Sederhananya, biarlah musisi fokus membuat karya. Jangan mereka mikirin komersialisasinya, itu tugas kami. Kami kasih tahu datanya, guideline-nya, referensinya. Proses kreatif dan penafsiran data ini sepenuhnya ada pada para musisi.

Selama 5–10 tahun terakhir, seperti apa Barry melihat tren musik? Apakah ada tren genre atau format pemusik (band, solois, grup vokal) yang sedang naik?

Tren pasti ada. Tapi, Indonesia adalah market yang unik. Sangat beda dengan era awal 2000-an yang masih sangat homogenik. Misalnya, tren musik ballad, rilisnya ballad semua. Dengan kemajuan teknologi dan hilangnya limitasi dalam merilis lagu, menarik banget melihat musisi berkembang merilis lagu. Kreativitas mereka benar-benar tanpa batas. Pendengar pun sekarang punya akses ke banyak musisi.

Kalau ditanya tren musik hari ini seperti apa?, jawabnya pasar kita enggak punya pakem. Tren bisa berubah dalam semalam. Di akhir tahun lalu, musisi berbahasa Inggris seperti Arash Buana dan GANGGA jadi top of the chart. Tulus, misalnya, sempat naik di bulan Maret. Lalu, dalam hitungan bulan, kembali ke musik pop dengan solois perempuan. Misalnya, Keisya (Levronka), Tiara (Andini), terus Ziva (Magnolia). Mungkin bulan-bulan berikutnya berubah lagi. (*)


Credit: Source link