JawaPos.com – Harapan pekerja/buruh untuk bisa mendapat kenaikan upah minimum 2023 secara maksimal tidak terwujud. Pasalnya, upah minimum kabupaten/kota (UMK) 2023 ditetapkan tidak jauh beda dari upah minimum provinsi (UMP) 2023.
Kemarin (7/12) sejumlah daerah mengumumkan besaran UMK 2023. Rata-rata kenaikan hanya sekitar 6–8 persen dari besaran UMK 2022. Misalnya, besaran UMK Kota Jogjakarta Rp 2.324.775,51 atau naik 7,93 persen dari UMK 2022 sebesar Rp 2.153.970. Lalu, Kabupaten Kulon Progo sebesar Rp 2.050.447,15, naik 7,68 persen dari UMK 2022, yakni Rp 1.904.275.
Tidak jauh beda, besaran kenaikan yang sama terjadi di wilayah kabupaten dan kota di Jawa Tengah. UMK 2023 Kota Semarang, misalnya, naik 7,95 persen menjadi Rp 3.060.348,78. Kemudian, di Kabupaten Kudus, UMK 2023 hanya naik 6,4 persen menjadi Rp 2.439.813,98 lantaran pertumbuhan ekonomi berada di angka negatif. Penetapan dilakukan sebesar inflasi sesuai Permenaker 18/2022.
Jawa Barat pun sama. UMK 2023 disahkan rata-rata 7,08 persen. UMK 2023 Kota Depok ditetapkan Rp 4.694.493,70, naik 7,25 persen dari tahun sebelumnya Rp 4.377.231,93. Begitu pula dengan Kota Bogor, naik sekitar 7,14 persen menjadi Rp 4.639.429,39 dari sebelumnya Rp 4.330.249,57.
Menyikapi hal itu, Presiden Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) Said Iqbal mengungkapkan kekecewaannya. Serikat pekerja/buruh tetap akan menuntut kenaikan maksimum sesuai Permenaker 18/2022. ”Kami tetap meminta kenaikan upah 10 persen sesuai rekomendasi bupati dan wali kotanya,” tegasnya kemarin.
Sebelumnya, Said menyampaikan, sejatinya beberapa kabupaten merekomendasikan kenaikan UMK 2023 sebesar 10 persen. Di antaranya, Kabupaten Bogor dan Subang. Sayang, rekomendasi tersebut tak menjadi pilihan.
Presiden Asosiasi Serikat Pekerja Indonesia (ASPEK Indonesia) Mirah Sumirat turut menyesalkan besaran kenaikan UMK 2023 yang telah ditetapkan sejumlah daerah. Menurut dia, besaran tersebut jauh dari tuntutan awal buruh. ”Sesungguhnya jauh dari harapan kita, di awal kita harapkan kenaikan 13 persen,” ungkapnya.
Namun, setelah dikeluarkan Permenaker 18/2022 yang membatasi kenaikan upah minimum 10 persen, pihaknya mencoba legawa. Termasuk, keputusan kenaikan UMK 2023 dengan rata–rata 78 persen. ”Prinsipnya kalau masih di atas inflasi dan pertumbuhan ekonomi daerah masing-masing, kami masih menerima. Kalau di bawah, kami menolak,” tegas anggota Dewan Pengupahan Nasional tersebut.
Credit: Source link