JAKARTA, BALIPOST.com – Depresiasi nilai tukar rupiah terhadap dolar AS yang tercatat sebesar 2,34 persen (year-to-date/ytd) saat ini relatif lebih baik dibandingkan depresiasi yang dialami oleh mata uang negara lain.
Ketua Komite Stabilitas Sistem Keuangan (KSSK) sekaligus Menteri Keuangan RI Sri Mulyani Indrawati menyampaikan bahwa peningkatan indeks dolar atau DXY memberikan tekanan terhadap mata uang utama seperti Yen Jepang dan Dolar Australia yang masing-masing tercatat melemah 12,61 persen dan 6,27 persen ytd.
“Yen Jepang dan Dolar Australia yang melemah masing-masing 12,61 persen dan 6,72 persen ytd, serta depresiasi mata uang kawasan, seperti Ringgit Malaysia dan Baht Thailand masing-masing 7,82 persen dan 4,39 persen ytd,” kata Sri Mulyani dalam konferensi pers KSSK di Jakarta, dikutip dari kantor berita Antara, Jumat (3/11).
Oleh karena itu, Sri Mulyani mengatakan ke depan, langkah stabilisasi nilai tukar rupiah akan terus diperkuat sejalan dengan nilai fundamentalnya.
Selain itu, upaya lain juga akan terus dilakukan dengan meningkatkan manajemen likuiditas institusi keuangan, menarik aliran portfolio asing, serta memperluas rangka implementasi Devisa Hasil Ekspor Sumber Daya Alam (DHE SDA). Hal itu sejalan dengan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 36 Tahun 2023.
“Penguatan harmonisasi kebijakan fiskal, moneter dan sektor keuangan juga akan terus dilakukan untuk memperkuat efektivitas bauran kebijakan makro baik dalam rangka menjaga stabilitas sistem keuangan maupun untuk mendorong akselerasi pertumbuhan ekonomi,” ujarnya.
Adapun Nilai tukar (kurs) rupiah yang ditransaksikan antarbank di Jakarta pada Jumat pagi menguat sebesar 0,19 persen atau 30 poin menjadi Rp15.825 per dolar AS dari sebelumnya Rp15.855 per dolar AS.
Pada kesempatan yang sama, Gubernur Bank Indonesia (BI) Perry Warjiyo mengatakan bahwa keputusan BI menaikkan suku bunga acuan atau BI 7 Days Reverse Repo Rate bertujuan guna menjaga stabilitas rupiah serta menjaga Indonesia dari risiko ekonomi global.
Pasalnya, perekonomian global saat ini tengah menunjukkan kinerja pertumbuhan yang melambat serta ketidakpastian yang makin meningkat. “Kenaikan ini untuk memperkuat kebijakan stabilisasi nilai tukar rupiah dari dampak meningkatnya ketidakpastian global serta sebagai langkah pre-emptive dan forward looking untuk memitigasi dampaknya terhadap inflasi barang impor (imported inflation),” pungkasnya. (Kmb/Balipost)
Credit: Source link