Gappri Nilai Kebijakan IHT Bikin Tumbuh Subur Rokok Ilegal

JawaPos.com – Pasca pemerintah melalui Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani Indrawati mengumumkan kenaikan tarif cukai hasil tembakau (CHT) tertimbang 10 persen pada 3 November 2022 lalu. Hingga akhir bulan November, pemerintah belum mengeluarkan Peraturan Menteri Keuangan (PMK) sebagai dasar pengaturan tarif CHT untuk tahun 2023 dan 2024.

Ketua umum Perkumpulan Gabungan Perserikatan Pabrik Rokok Indonesia (Gappri), Henry Najoan berpendapat belum dikeluarkannya PMK tersebut akan berimbas pada kelangsungan usaha pelaku Industri Hasil Tembakau (IHT) legal yang mengalami dilema karena ketidakjelasan aturan pemerintah. Henry menyoroti kebijakan cukai yang sangat eksesif selama 3 tahun, dan dua tahun mendatang.

Menurutnya, kenaikan tarif CHT yang eksesif itu tidak selaras dengan kebijakan pembinaan IHT legal nasional yang berorientasi menjaga lapangan kerja padat karya, memberikan nafkah petani tembakau dan cengkeh, serta menjaga kelangsungan investasi. “Implikasi kebijakan cukai yang sudah berlangsung 3 tahun berturut-turut ini, ditambah dua tahun mendatang, akan berdampak negatif bagi iklim usaha IHT legal, potensi PHK tenaga kerja massal, serapan bahan baku dari petani tembakau dan cengkeh akan berkurang. Mau dibawa kemana nasib IHT legal nasional ini?” kata Henry dalam keterangannya, Rabu (30/11).

Lebih lanjut dia mengatakan, kenaikan tarif CHT yang sangat eksesif secara berturut-turut menyebabkan disparitas harga rokok legal dibanding rokok ilegal makin lebar. Sebuah kajian 2021 menunjukkan peredaran rokok ilegal mencapai 26,30 persen, sebanding dengan Rp 53,18 triliun potensi besaran pendapatan negara yang hilang akibat peredaran rokok ilegal.

“Bahwa selama tiga tahun berturut-turut, tarif cukai dikatrol sangat eksesif yang menyebabkan rokok ilegal sangat marak. Kelihatan sekali terjadi pembiaran atas praktik mafia produsen rokok ilegal yang sangat merugikan rokok legal,” imbuhnya.

Henry menyebut IHT seolah dijadikan sapi perah yang diambil cukai dan pajaknya, tetapi nasibnya tidak diperhatikan. Lantas, Henry membeberkan beratnya pungutan langsung negara terhadap produk tembakau yang menjadi semakin berat karena kenaikan cukai.

IHT legal nasional selain dipungut melalui CHT, juga dibebani Pajak Daerah dan Retribusi Daerah (PDRD) sebesar 10 persen dari nilai cukai dan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) sebesar 9,9 persen dari harga jual eceran hasil tembakau. Jika dijumlahkan, pungutan ketiga komponen pungutan langsung tersebut berkisar di 76,3 persen sampai 83,6 persen dari setiap batang rokok yang dijual, bergantung golongan dan jenis rokok yang di produksi. Sisa 16,4 persen sampai 23,7 persen untuk pabrik membayar bahan baku, tenaga kerja dan overhead serta corporate social responsibility (CSR).

“Artinya harga rokok ilegal sudah menang bersaing walau harganya hanya sekitar 20 persen atau 1/5 dari harga rokok legal. Kok masih ditambah lagi beban kenaikan tarif untuk 2023 dan 2024. Semakin berat beban IHT legal,” tegas Henry.

Henry mengungkapkan kondisi IHT legal nasional saat ini perfomanya sedang turun drastis. Terlebih, pada masa pandemi Covid-19 seperti saat ini, adanya kebijakan kenaikan BBM, dan perekonomian yang tidak menentu, yang sangat berdampak pada pengusaha rokok, khususnya bagi industri kecil.

Henry juga menambahkan, kenaikan tarif CHT tidak serta merta membuat industri dapat menyesuaikan dengan besaran kenaikan tarif yang baru. “Kenaikan tarif cukai dampaknya bagi Industri rokok lebih pada pengurangan produksi. Sedangkan, bagi karyawan dampaknya akan terjadi pengurangan jam kerja karena produk menurun, bahkan berpotensi terjadi adanya efisiensi belanja bahan baku (tembakau, cengkeh). Tapi, kalau sudah tidak bisa ya ujung-ujungnya pasti kami melakukan rasionalisasi (PHK),” jelasnya.

Situasi yang kompleks akibat kebijakan kenaikan cukai, GAPPRI berharap pemerintah memberikan relaksasi pembayaran pita cukai sebagaimana yang telah dilakukan periode tahun 2020-2022. “Kami berharap, kondisi industri rokok legal yang sedang terpuruk seperti saat ini, Pemerintah dapat memberikan relaksasi pembayaran pemesanan pita cukai dari 60 hari menjadi 90 hari pada tahun 2023 dan 2024,” pungkasnya.


Credit: Source link