Gubernur Koster Tegaskan Hulunya Pariwisata Bali adalah Budaya 

Gubernur Bali, Wayan Koster menandatangani Kesepakatan Bersama dan Perjanjian Kerjasama antara Pemerintah Provinsi Bali, Gabungan Industri Pariwisata (GIPI) Bali, dan PT. Bank Pembangunan Daerah (BPD) Bali tentang Teknis Pelaksanaan Penerimaan Kontribusi Wisatawan untuk Pelindungan Lingkungan Alam dan Budaya Bali. (BP/Istimewa)

DENPASAR, BALIPOST.com – Gubernur Bali, Wayan Koster menandatangani Kesepakatan Bersama dan Perjanjian Kerjasama antara Pemerintah Provinsi Bali, Gabungan Industri Pariwisata (GIPI) Bali, dan PT. Bank Pembangunan Daerah (BPD) Bali tentang Teknis Pelaksanaan Penerimaan Kontribusi Wisatawan untuk Pelindungan Lingkungan Alam dan Budaya Bali. Dalam kesempatan itu juga dikukuhkan Unsur Penentu Kebijakan Badan Promosi Pariwisata Daerah Bali Tahun 2022-2026 di Gedung Gajah Jayasabha, Denpasar, Rabu (18/5).

Penandatanganan Kesepakatan Bersama dan Perjanjian Kerjasama tersebut dihadiri oleh Wakil Gubernur Bali, Tjokorda Oka Artha Ardhana Sukawati, Ketua GIPI Bali, Ida Bagus Partha Adnyana, Kepala Badan Pendapatan Daerah Provinsi Bali, I Made Santha, Kepala Dinas Pariwisata Provinsi Bali, Tjok. Bagus Pemayun, dan Dirut BPD Bali, I Nyoman Sudharma. Hadir pula stakeholder pariwisata Bali lainnya.

Gubernur Koster menegaskan bahwa Bali telah lama menjadi daerah tujuan wisata dunia yang berkembang secara alami. Hulunya pariwisata Bali adalah budaya. Kekayaan, keunikan dan keunggulan yang dimiliki budaya Bali, menjadikan budaya sebagai daya tarik bagi wisatawan untuk datang ke Pulau Dewata, karena ingin melihat seni budaya dalam berbagai kreasi dan inovasi.

Sehingga di luar negeri itu, Bali lebih dikenal dari pada Indonesia. Tidak hanya dulu, tapi sekarang pun para menteri masih mengatakan Bali lebih dikenal dari pada Indonesia.

Pariwisata, kata Gubernur Bali jebolan ITB ini, berkembang menjadi sektor tersendiri yakni sektor pariwisata dan kemudian dia menjadi satu gerakan ekonomi yang menimbulkan pelaku usaha di bidang pariwisata. Hal ini terus berkembang, dan jika diamati, perkembangan pariwisata Bali lebih banyak terjadi secara sporadik dan tidak di desain dengan satu tatanan, namun bagaiman mengarahkan pariwisata Bali ini bisa dikelola dengan baik.

Kemudian yang paling esensi itu, agar pariwisata betul-betul menjaga budaya Bali dengan memberi manfaat dan nilai yang setinggi-tingginya bagi kehidupan masyarakat Bali secara totalitas melalui keberpihakan pariwisata kepada sumber daya lokal. “Jadi pariwisata harus dikelola dengan prinsip-prinsip dasar, agar dia berkembang, tumbuh dan bermanfaat tidak saja bagi pelaku pariwisata, tapi juga memberi manfaat sebesar-besarnya bagi kesejahteraan masyarakat Bali, menjadi pengungkit tumbuhnya perekonomian Bali, sekaligus menyeimbangkan struktur dan fundamental perekonomian Bali, dan tetap memperhatikan keharmonisan terhadap alam, manusia dan kebudayaan Bali. Ini yang selama ini tidak terjadi sejak pariwisata tumbuh dan berkembang di Bali sampai saat ini. Jadi Kita harus instropeksi,” tegas mantan Anggota DPR-RI 3 periode dari Fraksi PDI Perjuangan ini.

Munculnya pandemi Covid-19 pertama kali di Bali (pada 10 Maret 2020), membuat Bali yang mengandalkan sektor pariwisata akhirnya berhenti akibat negara di dunia juga mengalami pandemi Covid-19. Sehingga tidak ada kunjungan wisatawan dan ekonomi Bali pun ikut terdampak.

Jadi sektor pariwisata sangat rentan terhadap gangguan eksternal, seperti gangguan keamanan dan akibat bencana alam. Sebagai Gubernur Bali, 2 tahun masa pandemi ini telah memberikan pelajaran yang sangat berharga. “Saya melakukan introspeksi diri secara dalam-dalam tentang alam, manusia, dan kebudayaan Bali,” kata Gubernur Koster.

Ia tercatat telah mengeluarkan Peraturan Gubernur Bali Nomor 79 Tahun 2018 tentang Hari Penggunaan Busana Adat Bali, Peraturan Gubernur Bali Nomor 80 Tahun 2018 tentang Pelindungan dan Penggunaan Bahasa, Aksara, dan Sastra Bali serta Penyelenggaraan Bulan Bahasa Bali, dan Peraturan Daerah Provinsi Bali Nomor 4 Tahun 2020 tentang Penguatan dan Pemajuan Kebudayaan Bali.

Perkembangan pariwisata di Bali berlangsung tanpa arah terlalu lama. Pariwisata Bali terlalu lama dibiarkan berjalan sendiri tanpa kontrol, tanpa regulasi yang memadai dalam bentuk Peraturan Daerah maupun Peraturan Gubernur. “Bagaimana seharusnya kita mengelola pariwisata ini dengan baik, berbasis pada budaya, memiliki kualitas, berpihak pada sumber daya lokal dan berdaya saing. Ini yang selama ini tidak pernah ada, sehingga yang terjadi semuanya berjalan secara sporadis. Secara kewilayahan, telah terjadi ketimpangan di Bali, karena terlanjur tertumpuk di Nusa Dua.”

Sektor Pariwisata saat ini kurang mampu memberikan manfaat ekonomi Bali secara keseluruhan dengan keberpihakannya kepada budaya, petani, nelayan dan perajin di Bali. Ini yang perlu disadari. “Hanya memikirkan bagaimana hotel, restaurant, transportasi, dan usaha-nya jalan. Tidak pernah memikirkan bagaimana petani, nelayan, perajin kita di Bali ini. Inilah yang membuat ketimpangan besar di Bali, ketimpangan antar komponen masyarakat, dan ketimpangan antar wilayah Utara, Timur, Selatan, Barat dan Tengah,” terangnya.

Untuk itu, Pemerintah Daerah harus hadir membuat arahan kebijakan dengan legislasinya, seperti Perda, Pergub, dan turunannya. Agar semua ini bisa bergerak untuk memutar ekonomi di Bali.

Ekonomi yang tumbuh dari pariwisata saat ini, sebagaian besar dinikmati oleh luar. Jadi Bali mengalami lost ekonomi, lost pelaku usaha pariwisata, hingga lost di bidang jasa lainnya. “Bisa diceck itu, siapa pemiliknya, siapa pengembangnya, kemana larinya ini uang, bahkan sampai managernya orang luar. Jadi pemilik modal, pengusaha, manajemen, produk-produk yang dipakai juga semua dari luar. Itu yang terjadi. Kalau ini diakumulasikan, losnya ekonomi Bali keluarnya tinggi sekali. Ini harus disadari,” ungkap Gubernur Koster.

Kalau bayar Pajak Hotel dan Restaurant itu iya, tapi kata Wayan Koster itu kewajiban utama. Namun yang di luar itu, harusnya memberikan imbas atau efek kepada kehidupan masyarakat keseluruhan di Bali.

Karena Bali ini, tidak memiliki sumber daya alam, baik itu emas, batubara, gas, minyak, dan kelapa sawit yang jutaan hektar seperti di daerah lain. Jadi harus ingat, bahwa Bali hanya memiliki kekayaan dalam bentuk adat istiadat, tradisi, seni budaya, dan kearifan lokal. “Karena anugerah kita hanya bersumber dari adat istiadat, tradisi, seni budaya, dan kearifan lokal, maka keseluruhan unsur kehidupan kita ini harus di dorong untuk memelihara dan menjaga ini. Agar tetap bisa menjadi sumber nilai kehidupan, sumber untuk mengembangkan kreasi karya seni dan budaya, dan sumber untuk mengembangkan ekonomi. Jadi disini peran GIPI Bali untuk menjadikan budaya sebagai basis pengembangan pariwisata dan ekonomi,” ujar orang nomor satu di Pemprov Bali ini.

Ia menyatakan di dalam visi pembangunan daerah Bali, yaitu Nangun Sat Kerthi Loka Bali melalui Pola Pembangunan Semesta Berencana menuju Bali Era Baru, budaya telah dijadikan mainstream pembangunan Bali. Sehingga Bali ini kokoh dengan budaya-nya.

“Kalau budaya Bali tidak ada, jangan cerita soal ekonomi, tidak ada lagi orang yang berkunjung ke Bali. Jadi tolong pahami ini dengan baik-baik.”

Itulah sebabnya, Gubernur Koster dalam pidatonya menyatakan sekarang ini akan bertindak tegas dan tidak lagi membiarkan ketimpangan akibat dari pariwisata. “Jangan kira saya anti pariwisata, tapi saya orang yang paling senang dengan pariwisata,” tegasnya.

Saat menjadi anggota Komisi X DPR RI, Wayan Koster tercatat telah berhasil membuat Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2009 tentang Kepariwisataan, termasuk membuat Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2017 tentang Pemajuan Kebudayaan. “Saya sangat pro terhadap pariwisata, tapi bagaimana pariwisata di Bali ini betul-betul menghidupi semua petani, nelayan, perajin Kita di Bali. Ini harus dijadikan kesadaran kolektif sekaligus untuk menumbuhkan kekuatan dan keberpihakan kolektif terhadap sumber daya lokal,” tegas penggagas konsep Ekonomi Kerthi Bali membangun Bali Era Baru ini.

Gubernur Koster menegaskan Bali membutuhkan pariwisata yang berbasis budaya, berkualitas dan bermartabat. Ini sesuai Peraturan Daerah Provinsi Bali Nomor 5 Tahun 2020 tentang Standar Penyelenggaraan Kepariwisataan Budaya Bali dan Peraturan Gubernur Bali Nomor 28 Tahun 2020 tentang Tata Kelola Pariwisata Bali. (kmb/balipost)

Credit: Source link