JawaPos.com – Data-data lapangan pekerjaan (nonfarm payrolls) Amerika Serikat (AS) yang naik membuat khawatir pelaku pasar akan potensi The Federal Reserve (The Fed) masih hawkish. Meski demikian, sejumlah gubenur bank sentral dunia mengisyaratkan dovish. Berita tersebut menjadi katalis positif bagi pasar saham global, termasuk Indonesia.
“Indeks harga saham gabungan (IHSG) berpeluang melemah di awal pekan. Tapi secara umum akan bergerak menguat pekan depan. Dengan support di level 6.855 sampai 6.815 dan resistance di 6.951 hingga 7.053. Cenderung sell on strengh (SOS),” terang analis pasar modal Hans Kwee kepada Jawa Pos, Minggu (5/2).
Pertumbuhan nonfarm payrolls AS meningkat tajam selama Januari 2023, yakni 517 ribu pekerjaan. Jauh di atas perkiraan 185 ribu dan hampir dua kali lipat kenaikan dari Desember 2022. Tingkat pengangguran mencapai lebih level terendah di 3,4 persen.
“Ini merupakan kejutan yang luar biasa dan menimbulkan banyak pertanyaan tentang apa yang akan dilakukan The Fed selanjutnya. Pasar mencoba memahami bagaimana The Fed akan memandang hal ini,” imbuhnya.
The Fed telah menaikkan suku bunga acuan sebesar 25 basis poin (bps) ke kisaran 4,5-4,75 persen pada pertemuan 31 Januari dan 1 Februari lalu. kenaikan terkecil sejauh ini dalam siklus pengetatan 11 bulan.
Dalam kesempatan itu, Gubernur The Fed Jerome Powell memperingatkan tentang pengetatan kebijakan moneter lebih lanjut karena inflasi masih terlalu tinggi. Meski, kemajuan disinflasi masih dalam tahap awal.
Orang nomor satu di bank sentral AS juga menyatakan tidak akan terlalu hawkish ke depan. Pernyataan tersebut membuat pasar meyakini bahwa pengetatan oleh The Fed akan berakhir tahun ini.
Meski, The Fed diprediksi akan kembali menaikkan suku bunga acuan sebesar 25 bps lagi pada pertemuan 21-22 Maret 2023 menjadi 4,75- 5 persen. Level tersebut akan dipertahankan sampai akhir 2023.
“Sentimen berakhirnya kenaikan suku bunga The Fed membuat indeks dolar AS (USD) melemah, pasar obligasi dan saham menguat dan meningkatkan capital inflow ke negara berkembang. Termasuk Indonesia,” jelas dosen Fakultas Ekonomi Bisnis Universitas Trisakti itu.
Bank of England (BoE) dan Bank Sentral Eropa (ECB) secara eksplisit mengisyaratkan akan sedikit menurunkan pengetatannya. Sejalan dengan sikap evaluasi kebijakan moneter ke depan yang mereka lakukan. Meski, dua bank sentral itu telah menaikkan suku bunga sebesar 50 bps di awal 2023. Demi memerangi inflasi yang sangat tinggi di benua biru.
Trader obligasi semakin yakin bahwa siklus pengetatan bank sentral global sudah mendekati akhir. Sehingga semakin berani memburu obligasi. Mereka lebih fokus pada bukti-bukti perlambatan ekonomi yang dipercaya akan memaksa jeda kenaikan suku bunga.
Reli obligasi berlanjut di pasar Asia di saat imbal hasil obligasi Australia melorot. Pergerakan pasar obligasi global menggemakan yang terjadi di pasar surat utang AS (US Treasury) ketika imbal hasil turun tajam dan pedagang memperkirakan penurunan suku bunga Federal Reserve setengah poin pada akhir tahun. Dinamika ini mencerminkan perubahan haluan tahun lalu. Ketika investor saat itu sangat bergantung pada setiap pernyataan bank sentral.
“Situasi saat ini menunjukkan bahwa keseimbangan kekuatan telah bergeser. Pasar obligasi melihat lemahnya upaya-upaya bank sentral untuk bersikap hawkish dan berkonsentrasi pada titik akhir kenaikan yang terlihat sudah dekat untuk mendorong imbal hasil turun,” kata Hans.
Menurut dia, puncak kenaikan suku bunga The Fed mungkin terjadi pada Maret di level 5 persen. Sedangkan skenario yang lebih pesimis pada pada Mei-Juni sekitar 5,25-5,5 persen. Dengan demikian, suku bunga acuan Bank Indonesia (BI) bisa berada di 6-6,5 persen dengan asumsi selisih (spread) 100 bps dengan The Fed.
“Menjaga paritas suku bunga sangat penting untuk menjaga stabilitas makroekonomi khususnya nilai tukar rupiah. Spread yang lebih rendah dapat menyebabkan ketidakstabilan nilai tukar rupiah karena potensi capital outflow,” bebernya.
Credit: Source link