JawaPos.com – Indonesia tengah memperkuat posisi dalam rantai pasokan global untuk logam dasar dan baterai mobil listrik. Rencananya, proses produksi akan dimulai pada 2024. Langkah tersebut diharapkan bakal memperkuat fondasi pertumbuhan ekonomi Indonesia ke depan.
Menteri Koordinator bidang Kemaritiman dan Investasi Luhut Binsar Pandjaitan menuturkan, proses persiapan untuk produksi baterai mobil listrik sudah berjalan. Mulai dari kerja sama dengan perusahaan asing untuk produksi, mengundang investor yang berpartisipasi, dan pembangunan pabrik.
“Sekarang sedang jalan. Saya kan udah bilang 2024 kuartal II atau III kita akan produksi baterai kita sendiri,” ucapnya seminar Climate Change, Decarbonization, Sustainability & Green Economy yang diadakan oleh LPS di Nusa Dua, Bali, Rabu (9/11).
Dia menyatakan, produksi baterai mobil listrik atau electric vehicle (EV) itu akan menggandeng dengan sejumlah perusahaan. Seperti, Contemporary Amperex Technology Co. Ltd. [CATL], LG Energy Solution, maupun industri lain.
Luhut meyakini, Indonesia menjadi negara dengan pendapatan terbesar dengan berkembangnya industri nikel dan baterai mobil listrik yang berorientasi ekspor. Pendapatan yang besar tentu akan mendorong pertumbuhan ekonomi yang positif. Apalagi, harga komoditas yang tinggi telah mendongkrak nilai ekspor Indonesia.
Terutama, komoditas ekspor utama Indonesia yang melonjak, seperti batu bara, CPO, dan besi baja. Diharapkan, harga sektor komoditas tersebut tetap terjaga. Dengan begitu, Indonesia diperkirakan akan menjadi negara dengan pertumbuhan ekonomi terbesar keempat di dunia.
“Semua apa yang kita lakukan sesuai dengan planning tadi, saya kira 2045 atau 2050 kalau orang meramalkan kita empat besar ekonomi dunia bukan hal yang aneh. Karena GDP kita di 2030 kira-kira USD 3 triliun sampai USD 3,5 triliun,” ungkapnya.
Sementara itu, Chief Economist Citi Indonesia Helmi Arman menilai, masuknya investasi di sektor logam dasar dan baterai mobil listrik berpotensi memperbaiki struktur neraca perdagangan. Meskipun dalam hal menjaga stabilitas nilai tukar, diferensial suku bunga kebijakan tetap harus diperhatikan.
“Sangat menarik bahwa keseimbangan di pasar valas sejak akhir 2020 hingga sekarang relatif terjaga. Walaupun terdapat tekanan besar akibat penarikan dana asing keluar dari pasar obligasi Indonesia pasca penarikan stimulus moneter dan kenaikan suku bunga di Amerika Serikat,” jelasnya.
Membaiknya struktur pasar valas selama dua tahun ini memang disumbang juga oleh tingginya harga komoditas ekspor. Seperti batu bara dan crude palm oil. Namun peranan ekspor logam dasar juga signifikan dan akan terus meningkat.
Dalam tiga tahun ke depan, kata Helmi, kontribusi ekspor logam dasar dan baterai mobil listrik terhadap neraca perdagangan Indonesia diperkirakan dapat mencapai hingga 3 persen dari produk domestik bruto (PDB) Indonesia. Apabila ketergantungan pasar valas terhadap pasokan dari aliran dana asing ke pasar modal dapat diturunkan, maka peringkat utang Indonesia berpeluang meningkat dari BBB menjadi BBB+. Seiring dengan membesarnya pasokan valas hasil ekspor.
Helmi optimistis Indonesia akan masih bisa bersinar dengan berkembangnya sumber-sumber ekspor baru. Di saat banyak negara lainnya menghadapi prospek penurunan ekspor dan pertumbuhan ekonomi yang struktural.
Indonesia dikenal sebagai produsen nikel terbesar dunia. Tercatat memiliki 23,7 persen porsi cadangan bijih nikel dari seluruh cadangan dunia. Sehingga mampu memproduksi bijih nikel dalam jumlah besar secara berkelanjutan.
Selain itu, Indonesia juga memiliki cadangan kobalt yang besar. Kobalt merupakan salah satu bahan utama yang diperlukan untuk membuat baterai. Cadangan nikel dan kobalt yang besar akan mempengaruhi produksi baterai. Mengingat, komponen kobalt dan nikel mencakup sekitar 90 persen dari total komponen baterai.
“Ke depannya, tren pemakaian kendaraan listrik berbasis baterai diprediksi akan terus meningkat, mengingat semakin banyak negara yang mengoptimalkan penggunaan energi bersih dengan menurunkan ketergantungan pada bahan bakar minyak,” pungkasnya.
Editor : Estu Suryowati
Reporter : Agas Putra Hartanto
Credit: Source link