JawaPos.com – Perekonomian diperkirakan meningkat seiring dengan perkembangan keuangan digital. Namun, hal tersebut dibayangi oleh ancaman keamanan siber yang berpotensi menimbulkan risiko besar bagi bisnis perbankan digital di beberapa tahun mendatang.
Sementara itu, Koordinator Fungsi Manajemen Risiko dan Pengukuran Tingkat Kematangan Keamanan Siber dan Sandi Sektor keuangan, Perdagangan, Pariwisata, dan Ekonomi Kreatif Badan Siber dan Sandi Negara (BSSN), Baderi mengatakan, keamanan siber menjadi suatu hal yang sangat penting. Isu ini tidak hanya di Indonesia, tapi di regional ASEAN dan dunia.
Menurutnya, serangan siber pada top 10 industri di tahun 2020 terjadi di sektor keuangan yaitu 23 persen. Industri manufaktur ada di peringkat kedua dengan 17,7 persen dan sektor energi di peringkat ketiga dengan 10,2 persen.
Berdasarkan data IBM Security X-Force tahun 2021, 28 persen serangan siber pada industri keuangan adalah server access attack dan 10 persen serangan siber berupa ransomware.
“Kerugiannya cukup besar, yaitu mencapai USD 123 juta,” kata Baderi dalam sebuah webinar dikutip Kamis (13/1).
Baderi memaparkan, Indonesia dan Amerika Serikat merupakan negara yang paling sering dimanfaatkan untuk aktivitas phising. Sementara itu, Indonesia menjadi negara yang paling banyak menjadi korban penyebaran malware.
Baderi mengungkapkan, terdapat sejumlah sumber utama serangan siber di Indonesia. Diantaranya, sumber anomali terbesar disebabkan oleh malware, meliputi trojan, botnet, dan sebagainya. Lalu, motif utama mencuri data milik korban, berupa identitas, kredensial, dan data berkaitan dengan informasi keuangan milik nasabah.
Kemudian, melibatkan lebih dari satu peran atau entitas untuk menjalankan aktifitas kriminal di ranah siber. Mayoritas menggunakan infrastruktur crime-as-aservice. Serta, aktor utama selalu menggunakan saluran komunikasi yang aman untuk melindungi identitasnya.
“Mengungkap aktor utama atau sindikat yang terlibat dengan kasus kriminal jenis ini selalu menjadi tantangan berat,” pungkasnya.
Editor : Bintang Pradewo
Reporter : Romys Binekasri
Credit: Source link