JawaPos.com – Kebijakan Kementerian Perhubungan menaikkan tarif baru ojek online (ojol) menuai pro dan kontra. Langkah kenaikan tarif yang ditetapkan oleh Kemenhub berpotensi membebani masyarakat dan ekonomi nasional. Direktur Riset Center of Reform on Economics (CORE) Indonesia Piter Abdullah mengatakan, tarif baru yang ditetapkan oleh Kemenhub kenaikannya mencapai lebih dari 30 persen.
“Kenaikan tarif baru Ojol memang tinggi, mungkin lebih dari 30 persen. Pada kilometer pertama hingga empat saja, kenaikannya sudah 50 persen. Sehingga nanti tarif ojol baru ini akan terasa sekali,” kata Piter.
Menurutnya, kenaikan itu bisa membuat minat masyarakat mengunakan ojol akan mengalami penurunan. Bila itu yang terjadi, maka akan berdampak negatif terhadap driver karena dapat mengurangi pendapatan driver.
“Perlu jadi perhatian bahwa masyarakat bawah itu sangat sensitif dengan kenaikan harga. Apalagi daya beli masyarakat sudah tergerus akibat pandemi, banyak PHK, penurunan gaji, kenaikan harga-harga bahan pangan, harga barang, dan sebagainya,” ujar Piter.
Oleh karenanya, pernyataan kenaikan tarif ojol ditujukan untuk meningkatkan kesejahteraan driver dinilai tidak sepenuhnya tepat. Sebab jika penepatan tarif terlalu tinggi akan membuat pendapatan driver turun dan memiliki dampak yang cukup luas pada sendi-sendi ekonomi. Seperti membuat daya beli turun, memicu kenaikan harga-harga, dan mengerek inflasi.
“Menurut saya, sebelum ada kenaikan tarif ojol inflasi akan berada di kisaran 5 persen sampai 6 persen. Mengapa sebesar itu, karena banyak produsen belum mentransmisikan kenaikan harga-harga bahan baku terhadap harga jual kepada konsumen. Padahal inflasi di tingkat produsen itu sudah lebih dari 10 persen. Sementara inflasi di tingkat konsumen masih 4 persen,” terang Piter.
Dan kenaikan tarif ojol yang tinggi ini, lanjutnya, dapat menjadi pemicu bagi produsen untuk mulai menerapkan kenaikan harga bahan baku kepada konsumen.
Editor : Mohamad Nur Asikin
Credit: Source link