KNKT Sebut Penyebab Kecelakaan Pesawat Sriwijaya Air 182 Bukan Mesin

by

in

JawaPos.com–Tepat pada 9 Januari 2021, pesawat Sriwijaya Air dengan nomor penerbangan SJY 182 rute penerbangan Bandara Soekarno Hatta-Bandara Supadio mengalami kecelakaan fatal di perairan Kepulauan Seribu, DKI Jakarta. Semua awak kabin dan penumpang di pesawat tujuan Pontianak, Kalimantan Barat, itu meninggal dunia.

Setelah setahun lebih berlalu, Komite Nasional Keselamatan Transportasi (KNKT) akhirnya menyelesaikan investigasi penyebab kecelakaan pesawat Boeing tipe 737-500 tersebut. Dalam investigasi itu, KNTK turut melibatkan berbagai pihak. Termasuk di antaranya yakni Amerika Serikat selaku negara pembuat pesawat. Kemudian, dibantu Inggris, dan Singapura.

Ketua Sub Investigasi Kecelakaan Penerbangan KNKT Capt. Nurcahyo Utomo mengungkapkan, berdasar hasil investasi yang dilakukan, kecelakaan pesawat Sriwijaya Air 182 terjadi karena beberapa faktor yang berkontribusi menjadi penyebab. Pertama, tahap perbaikan sistem autothrottle yang dilakukan pada pesawat tersebut belum mencapai bagian mekanikal.

”Beberapa hari sebelumnya sudah dikeluhkan ada masalah pada pesawat dan beberapa komponennya sudah diganti. Kita periksa komponennya, kondisinya bagus. Jadi ada bagian yang belum diperiksa, yakni bagian mekanikelnya,” jelas Nurcahyo Utomo di kantor KNKT, Jakarta, Kamis (10/11).

Kedua, thrust lever (tuas pengemudi) kanan tidak mundur sesuai permintaan otopilot karena hambatan pada sistem mekanikal. Sehingga thrust lever kiri mengkompensasi dengan terus bergerak mundur hingga akhirnya terjadi asymmetry.

Menurut dia, saat thrust lever berkurang, tenaga mesin juga akan berkurang. ”Seharusnya thrust lever dua-duanya itu mundur, tapi yang kanan tidak bergerak sama sekali. Jadi, ini masalahnya bukan di mesin, tetapi lebih kepada pengatur tenaga. Yaitu thurst lever sebelah kanan dan itu terjadi karena masalah di bagian mekanikalnya,” jelas Nurcahyo Utomo.

Ketiga, keterlambatan cruise thrust split monitor (CTPM) untuk menonaktifkan autothrottle pada saat asymmetry disebabkan fligt spoiler memberikan nilai yang lebih rendah. Sehingga berakibat pada asymmetry yang semakin besar.

”Jika CTPM-nya berfungsi benar, tepat waktu mungkin autothrottle-nya akan berhenti pada saat perbedaan asymmetry-nya belum terlalu besar. Sehingga mungkin pesawatnya masih bisa di-recover,” terang Nurcahyo Utomo.

Keempat, complacency (kepercayaan) pada sistem otomatis dan confirmation bias juga dimungkinkan telah berakibat kurangnya monitoring oleh pilot terhadap instrumen dan keadaan lain yang terjadi. Sehingga tidak disadari adanya asymmetry dan penyimpangan arah penerbangan.

”Tapi, kalau pilotnya monitor, pilotnya tahu kalau pesawatnya sudah miring tidak sesuai dengan sistem otomatis mungkin dapat segera diatasi,” ujar Nurcahyo Utomo.

Kelima, pesawat berbelok ke kiri dari yang seharusnya ke kanan, sementara pada kemudi miring ke kanan. Namun, kurangnya monitoring oleh pilot akibat adanya rasa kepercayaan dan confirmation bias pada sistem otomatis memungkinkan timbulnya asumsi pesawat berbelok ke kanan sesuai kemudi. Sehingga akhirnya tindakan pemulihan tidak sesuai.

Kemudian, terakhir belum adanya aturan dan panduan tentang upset prevention dan recovery training (UPRT). Hal itu memengaruhi proses pelatihan maskapai untuk menjamin kemampuan dan pengetahuan pilot dalam mencegah dan memulihkan kondisi upset secara efektif dan tepat waktu.

“Tapi, saat ini beberapa pihak sudah melakukan tindakan keselamatan. Termasuk Sriwijaya Air juga sudah membuat pelatihan UPRT bekerja sama dengan konsultan dari luar negeri,” terang Nurcahyo Utomo.

Atas investigasi tersebut, ditambahkan Nurcahyo, KTNK menilai tindakan keselamatan yang dilakukan beberapa pihak sudah sesuai dan dapat meningkatkan keselamatan. Namun, masih ada beberapa isu keselamatan yang perlu ditindaklanjuti. Karena itu, pihaknya memberikan beberapa rekomendasi keselamatan kepada Sriwijaya Air. Di antaranya untuk meningkatkan pelaporan bahaya atau hazard kepada seluruh pegawainya.

”Sriwijaya Air sudah memiliki sistem pelaporan, namun data yang kita peroleh ternyata sebagian besar pelapor bahaya ini masih dari sekuriti dan ground handling, sementara karyawan yang lain seperti pilot, pramugari, teknisi, dan lain-lain ini masih sangat sedikit laporannya. Sehingga kami minta untuk ditingkatkan,” ucap Nurcahyo Utomo.

Editor : Latu Ratri Mubyarsah

Reporter : Sugih Mulyono/JPK


Credit: Source link