Sekjen DPR RI, Achmad Djuned
Jakarta – Sekretaris Jenderal Dewan Perwakilan Rakyat (Sekjen DPR), Ahmad Juned terseret kasus dugaan suap satelit monitor di Badan Keamanan Laut (Bakamla). Hal itu mengemuka lantaran namanya masuk sebagai salah satu pihak yang dipanggil penyidik KPK.
Ahmad Juned sebenarnya dipanggil untuk diperiksa oleh penyidik KPK sebagai saksi tersangka Kabiro Perencanaan dan Organisasi Badan Keamanan Laut (Bakamla), Nofel Hasan (NH) pada Jumat (11/8/2017) kemarin. Namun, yang bersangkutan tak memenuhi panggilan alias mangkir.
Juru Bicara KPK, Febri Diansyah memastikan bahwa pihaknya akan kembali memanggil Ahmad Juned. Namun, Febri belum dapat menginformasikan kapan pemanggilan itu akan dilakukan.
Diduga kuat pemanggilan Ahmad Juned oleh penyidik KPK berkaitan dengan proses pembahasan anggaran proyek satelit monitor di DPR. Terlebih KPK tengah mengusut dugaan keterlibatan anggota DPR dalam pemulusan anggaran proyek tersebut.
“Kami sedang mendalami sejumlah hal, termasuk juga mencermati proses pembahasn anggaran. Tentu akan didalami lebih lanjut apa saja dan siapa saja yang memiliki peran dalam proses penganggaran ini,” ucap Febri, Sabtu (12/8/2017).
Ihwal pemulusan anggaran proyek tersebut sebelumnya mengemuka dalam persidangan perkara ini dengan terdakwa Dirut PT Melati Technofo Indonesia, Fahmi Dharmawansyah. Dalam persidangan mencuat informasi adanya aliran dana sebesar enam persen dari nilai dua proyek senilai Rp 400 miliar atau Rp 24 miliar yang telah diberikan kepada kader PDIP, Fahmi Al Habsy atau Ali Fahmi untuk sejumlah anggota DPR. Uang itu diberikan Fahmi Dharmawansyah untuk memuluskan pembahasan anggaran di DPR.
“Jika Ditemukan misalnya penyalahgunaan wewenang atau informasi-informsi yang bisa dikembangkan tentu akan didalami lebih lanjut,” kata Febri.
Nofel diketahui merupakan orang kelima yang ditetapkan sebagai tersangka kasus ini oleh KPK. Nofel diduga bersama-sama dengan Deputi Informasi, Hukum dan Kerja Sama Bakamla RI, Eko Susilo Hadi yang juga Kuasa Pengguna Anggaran menerima hadiah atau janji dari Dirut PT Merial Esa, Fahmi Dharmawansyah, dan dua anak buahnya M Adami Okta dan Hardy Stefanus terkait pengadaan satelit monitor di Bakamla. Dari nilai kontrak sebesar Rp 220 miliar, Nofel diduga menerima USD104.500.
Febri tak menampik jika Nofel bukan tersangka terakhir dalam kasus ini. Menurut Febri, pihaknya masih terus mengembangkan dan mengusut kasus ini. Bahkan, KPK tak tertutup kemungkinan untuk menetapkan tersangka dari unsur DPR jika ditemukan adanya bukti permulaan yang cukup.
“Apakah akan berhenti pada tersangka NH? Tentu tidak. Karena kami juga sedang mendalami sejumlah hal, termasuk juga mencermati proses pembahasn anggaran. Tentu akan didalami lebih lanjut apa saja dan siapa saja yang memiliki peran dalam proses penganggaran ini. Jika Ditemukan misalnya penyalahgunaan wewenang atau informasi-informsi yang bisa dikembangkan tentu akan didalami lebih lanjut,” ungkap Febri.
Febri kembali menegaskan bahwa pihaknya masih terus mencari keberadaan Ali Fahmi yang menjadi kunci aliran dana dari Fahmi Dharmawansyah kepada sejumlah anggota DPR. Hal ini lantaran Ali Fahmi telah berulang kali mangkir dari pemeriksaan di tingkat penyidikan maupun untuk dihadirkan sebagai saksi di persidangan.
Febri menilai, kehadiran Ali Fahmi akan mempermudah pengusutan kasus ini. Pun termasuk mengenai keterlibatan anggota DPR.
“Ali Fahmi atau Fahmi Al-Habsyi kami masih lakukan pencarian sampai saat ini, jika dibutuhkan pemeriksaan akan dipanggil kembali. Selain proses pencarian masih dilakukan ketika saksi ditemukan penanganan perkara ini akan mendapat kemajuan yang signifikan,” tandas Febri.
This article is automatically posted by WP-AutoPost Plugin