Gedung KPK RI (foto: Jurnas)
Jakarta – Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) disebut telah terhasut kampanye konglomerat hitam. Hal itu terkait kasus dugaan tindak pidana korupsi penghapusan piutang Bank Dagang Nasional Indonesia (BDNI) dan merugikan keuangan negara hingga Rp4,58 triliun.
Demikian disampaikan mantan Ketua Badan Penyehatan Perbankan (BPPN) Syafruddin Arsyad Temenggung saat membacakan nota pembelaan (pledoi) pribadinya setebal 110 halaman di Pengadilan Tipikor, Jakarta, Kamis (13/9).
Melalui pledoi berjudul “Perjalanan Menembus Ruang dan Waktu Ketidakadilan dan Ketidakpastian Hukum: Mengadili Perjanjian Perdata MSAA-BDNI” ini, Syafruddin menuduh KPK terhasut kampanye konglomerat hitam yang menyeret dirinya menjadi terdakwa.
“KPK terhasut kampanye dan siasat obligor BLBI yang tidak mau membayar alias konglomerat hitam yang otomatis mengatakan BDNI belum selesai sehingga konglomerat hitam bebas tapi yang sudah selesai, malah dipidana sedangkan yang ngemplang dibiarkan bebas,” kata Syafruddin.
Kata Syafruffin, KPK malah mempermasalahkan BDNI yang sudah dinyatakan selesai bukannya mengejar yang tidak kooperatif, tidak memperhatikan asas keadilan, kemanfaatan dan kepastian hukum bagi masyarakat.
Padahal, kata Syafruddin, penegak hukum dalam bertugas haruslah berasaskan hukum dan tidak boleh memutarbalikkan fakta-fakta, bekerja teliti sebagai saksi kebenaran karena bertanggung jawab kepada Sang Pencipta.
“Penegak hukum ada untuk mewujudkan keadilan dan bila gagal serta disalahgunakan maka penegakan hukum itu berubah menjadi bendungan kaku yang merugikan. `The purpose of the law is justice`, dalam penegakan hukum seharusnya ada tiga prinsip yaitu kepastian, keadilan dan kemanfaatan, negara wajib memberi kepastian hukum,” ungkap Syafruddin.
Syafruddin merasa heran, aneh, janggal dan terkesan dipaksakan dalam perkara ini. KPK dengan sengaja tidak menimbang fakta hukum yang muncul di persidangan antara lain pertama perjanjian MSAA BDNI adalah perjanjian perdata yang dibuat oleh pemerintah dengan pemegang saham BDNI Sjamsul Nursalim untuk menyelesaikan kewajiban BDNI.
“Karena itu sangat janggal masalah perdata di sidang di Pengadilan Negeri Tipikor,” ungkap Syafruddin.
Kedua, perjanjian MSAA BLBI BDNI menurut Syafruddin telah dinyatakan selesai oleh menteri keuangan sejak 25 Mei 1999, jauh sebelum Syafruddin menjabat sebagai kepala BPPN.
“Ketiga, proses penerbitan surat perihal Pemenuhan Kewajiban Pemegang Saham kepada Sjamsul Nursalim pada 26 April 2004 karena telah sesuai prosedur dan UU dan telah diaudit oleh BPK RI karena Sjamsul Nursalim telah menyelesaikan seluruh kewajibannya, artinya tindakan kami menerbitkan SKL tidak menyalahi kewenangan sebagai ketua BPPN,” kata Sjafruddin.
Keempat, menurut Syafruddin, klaim utang BDNI belum selesai Rp4,8 triliun adalah klaim sepihak. Kenyatannya berdasarkan surat keputusan KKSK 7 Oktober 2002 berdasarakan konsultan hukum LGS tidak menemukan misrepresentasi BDNI.
“KPK memotong bagian penting penyelesaian 2000-2004 dan hanya melihat misrepresentasi pada 1999 dan didakwakan pada 2018, sehingga tendensius untuk menghukum kami,” tegas Syafruddin.
Kelima, utang BDNI sebesar Rp4,8 triliun bukan bagian kewajiban Sjamsul Nursalim tapi faktor pengurang kewajiban BDNI.
Keenam, atas perintah KKSK, utang Rp4,8 triliun telah diserahkan ke Kementerian Keuangan pada 2004 setelah pihaknya tidak lagi menjabat ketua BPPN.
Menkeu membuat berita acara serah terima kepada PT PPA (Perusahaan Pengelola Aset) terhadap aset-aset yang dikelola PT PPA termasuk utang petani plasma sebesar Rp4,8 triliun.
Artinya, Menkeu mengakui utang petambak Rp4,8 triliun ke PT PPA. Tindakan setelah 7 Juni 2004 termasuk penetapan harga hanya Rp220 miliar sepenuhnya tangung jawab menkeu dan PT PPA, bukan ke Syafruddin yang tidak lagi jadi ketua BPPN.
Ketujuh, MSAA BDNI dinyatakan sebagai tindakan kooperatif. KPK malah mempermasalahkan BDNI yang sudah dinyatakan selesai bukannya mengejar yang tidak kooperatif, tidak memperhatikan asas keadilan, kemanfaatan dan kepastian hukum bagi masyarakat.
“KPK terhasut kampanye dan siasat obligor BLBI yang tidak mau membayar alias konglomerat hitam yang otomatis mengatakan BDNI belum selesai sehingga konglomerat hitam bebas tapi yang sudah selesai malah dipidana, sedangnkan yang `ngemplang` dibiarkan bebas,” kata Syafruddin.
Kedelapan, Syafruddin menilai penegak hukum dalam bertugas haruslah berasaskan hukum dan tidak boleh memutarbalikan fakta-fakta, bekerja teliti sebagai saksi kebenaran karena bertanggung jawab kepada sang pencipta.
“The purpose of the law is justice dalam penegakan hukum seharusnya ada tiga prinsip yaitu kepastian, keadilan dan kemanfaatan, negara wajib memberi kepastian hukum,” tambah Syafruddin.
Dalam perkara ini, jaksa penuntut umum KPK menuntut Syafruddin dihukum 15 tahun penjara dan membayar denda Rp1 milyar subsider 6 bulan kurungan karena dinilai terbukti melakukan tindak pidana korupsi.
Menurut penuntut umum, terdakwa Syfruddin telah terbukti secara sah dan meyakinkan melakukan tindak pidana korupsi secara bersama-sama dalam pemberian SKL BLBI ini sehingga merugikan keuangan negara sejumlah Rp4,5 triliun lebih sebagaimana dakwaan kesatu.
“Terdakwa Syafruddin Arsyad Temenggung telah terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana korupsi secara bersama-sama,” katanya.
Jaksa menilai Syafruddin terbukti melanggar Pasal 2 Ayat (1) Undang-Undang (UU) Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana diubah dalam UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi junto Pasal 55 Ayat (1) ke-1 KUHP.
TAGS : Kasus BLBI KPK Gajah Tunggal Sjamsul Nursalim
This article is automatically posted by WP-AutoPost Plugin
Source URL:http://www.jurnas.com/artikel/40763/KPK-Terhasut-Konglomerat-Hitam/