Lembaga Pengelola Investasi Rawan Konflik Kepentingan

JawaPos.com – Selain perombakan sederet regulasi, omnibus law UU Cipta Kerja mengatur pembentukan Lembaga Pengelola Investasi (LPI) atau sovereign wealth fund (SWF).

Lembaga itu disebut berfungsi meningkatkan dan mengoptimalkan nilai aset secara jangka panjang untuk mendukung pembangunan berkelanjutan.

Namun, di sisi lain, LPI ditengarai sangat rentan dengan konflik kepentingan.

Modal awal LPI ditetapkan paling sedikit Rp 15 triliun. Dana tersebut dapat berupa tunai, barang milik negara, piutang pada badan usaha milik negara (BUMN) atau perseroan terbatas (PT), atau saham milik negara di BUMN atau PT. Penyertaan modal itu akan ditetapkan dalam peraturan pemerintah. ”Dengan ekuitas tersebut, kami berharap bisa menarik dana investasi mencapai tiga kali lipatnya,” ujar Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati.

Pemerintah juga tengah membahas rencana injeksi ekuitas dalam bentuk dana tunai yang nilainya bisa mencapai Rp 30 triliun. Sementara itu, modal lain berupa barang milik negara, saham negara pada BUMN atau perusahaan, dan piutang-piutang negara akan disertakan sebagai modal setelah ketentuan turunan terkait LPI rampung.

LPI disebut-sebut mirip dengan sovereign wealth fund Singapura, yakni Temasek. Struktur organisasi LPI terdiri atas dewan pengawas dan dewan direktur. Di dewan pengawas ada menteri keuangan yang menjabat ketua dan menteri BUMN yang menjadi anggota. Lalu, tiga orang lainnya berasal dari kalangan profesional. Untuk dewan direktur, jumlahnya lima orang. Juga dari profesional.

Kepala BKPM Bahlil Lahadalia menegaskan bahwa LPI tidak akan tumpang-tindih dengan lembaganya. Sebab, kata dia, lembaga tersebut hanya mengelola dana dari investor yang akan ditempatkan di Indonesia. ”Mereka hanya mengelola dana di mana investor akan melakukan investasi. Nanti mereka akan daftar di BKPM. BKPM akan mengelola izin-izinnya. Kewenangan di BKPM tidak terambil sedikit pun,” terangnya.

Peneliti Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Bhima Yudhistira Adhinegara memberikan beberapa catatan terkait lembaga pengelola investasi. Mulai kerugian lembaga yang bukan dianggap sebagai kerugian negara, tapi hanya dicatat sebagai kerugian lembaga.

Baca juga: Model Investasi Apa Yang Dikejar?

Hal tersebut diatur dalam pasal 158 ayat 4 UU Cipta Kerja. Yakni, keuntungan atau kerugian yang dialami lembaga dalam melaksanakan investasi merupakan keuntungan atau kerugian lembaga.

”Padahal, asetnya berasal dari aset negara dan BUMN. Nah, ini jadi satu hal yang menurut saya agak kontradiktif. Seharusnya kalau dia rugi karena mengelola aset negara, itu kerugian negara,” beber Bhima.

Catatan selanjutnya, audit lembaga tersebut tidak dilakukan Badan Pengawas Keuangan (BPK) atau Otoritas Jasa Keuangan (OJK). Tapi dilakukan akuntan publik yang terdaftar di BPK dan OJK. Seperti diatur dalam pasal 161. ”Ini agak tricky nih. Padahal, hanya BPK yang bisa menentukan apakah ada kerugian negara atau tidak. Ini sudah menunjukkan adanya iktikad tidak baik dalam penerapan good governance,” ungkapnya.

Menurut Bhima, pemerintah seolah-olah ingin lari dari penerapan standar antikorupsi. Kemudian, posisi yang dominan diisi pejabat negara akan menimbulkan conflict of interest yang besar.

 

Saksikan video menarik berikut ini:

 

Editor : Ilham Safutra

Reporter : agf/han/c9/fal


Credit: Source link