Bayi lahir prematur menjadi tantangan besar bagi orang tua. Misalnya, yang dialami pasangan suami istri Edwin Jaka dan Nur Djamilah Zubaidi. Buah hati pertamanya terpaksa lahir prematur dengan berat badan (BB) hanya 985 gram.
SEPTINDA AYU P., Surabaya
MARYAM Jadwa Wirapraja akhirnya bisa kembali ke rumah setelah 50 hari mendapatkan perawatan di Neonatal Intensive Care Unit (NICU) Rumah Sakit Ibu dan Anak (RSIA) Kendangsari, Senin (11/7). Bayi pasangan suami istri Edwin Jaka dan Nur Djamilah Zubaidi tersebut lahir prematur pada 22 Mei 2022.
Berat awal Maryam saat dilahirkan hanya 985 gram dengan panjang hanya 45 sentimeter. Bayi itu adalah bayi terkecil yang pernah lahir di RSIA Kendangsari. Dengan penuh perjuangan oleh tim dokter yang menangani bayi tersebut dan kekompakan orang tuanya, Maryam mengalami perkembangan yang baik. Kini berat badan bayi tersebut sudah mencapai 1,8 kilogram.
”Alhamdulillah, akhirnya anak kami bisa pulang,” kata Edwin saat ditemui Jawa Pos di RSIA Kendangsari kemarin.
Saat itu, Maryam berada di pangkuan sang istri Djamilah. Maryam terlihat seperti bayi normal lainnya. Sudah bisa tersenyum dan menangis. Berat badannya juga terus bertambah meski belum mencapai normal. Djamilah dan Edwin pun terlihat gembira saat menunjukkan progres perkembangan anak pertamanya sejak awal dilahirkan hingga sekarang.
”Kami senang, sampai hari ini putri kami bisa survive,” ujarnya.
Dia menuturkan awalnya cukup kaget ketika mengetahui anaknya harus dilahirkan prematur. Apalagi Maryam adalah anak pertamanya. Tidak ada pengalaman sebelumnya dan sangat awam tentang preeklampsia.
”Kami beruntung mendapatkan pengetahuan sejak awal dari para dokter hingga proses persalinan Maryam berjalan lancar sampai perawatan pasca kelahiran,” ujarnya.
Risiko preeklampsia tersebut sejatinya sudah diketahui sejak awal ketika pemeriksaan kandungan istri secara rutin. Sejak itu, Edwin berupaya memberikan support kepada istrinya hingga Maryam lahir.
”Sempat stres. Namun, karena sejak awal didiagnosis dokter, pemahaman tentang preeklampsia semakin baik. Jadi, yang terpenting, saya harus menguatkan istri,” kata dia.
Edwin sadar bahwa peran suami sangatlah penting dalam kelahiran bayi prematur. Tidak hanya untuk sang bayi, tetapi juga dukungan untuk sang istri. ”Yang saya pikirkan, jangan sampai istri saya merasakan baby blues terlalu lama,” ucapnya.
Djamilah menambahkan, sejak awal kehamilan memang sudah sadar bahwa akan ada risiko-risiko yang dialaminya. Hal itu dilihat dari faktor usia sudah kepala tiga. Selain itu, berat badan overweight.
”Saya sadar dan sudah mempersiapkannya. Ternyata, PR yang saya hadapi semakin besar,” kata dia.
Saat itu, Djamilah didiagnosis preeklampsia. Tekanan darahnya tinggi hingga mencapai 193/115. Dia terpaksa harus melahirkan saat usia kehamilan baru menginjak 28–29 minggu. Bayinya lahir dengan BB hanya 985 gram.
”Setelah keluar dari ruang operasi, air susu ibu (ASI) saya langsung keluar. Saya diajari cara memerah ASI. Begitu juga suami saya,” jelasnya.
Djamilah dan Edwin berusaha menjadi orang tua yang selalu kompak untuk buah hatinya. Mereka fokus agar produksi ASI terus lancar untuk memenuhi nutrisi anaknya.
Dokter spesialis obstetri dan ginekologi RSIA Kendangsari dr Indra Yuliati SpOG (K) mengatakan, Maryam dilahirkan saat usia kandungan ibunya 28–29 minggu. Kelahiran prematur tersebut dilakukan karena ibu Maryam mengalami komplikasi kehamilan. Tekanan darah tinggi hingga 193/115 dan mengalami preeklampsia berat.
Sementara itu, dokter anak RSIA Kendangsari dr Dini Adityarini SpA menambahkan, tantangan penanganan bayi prematur adalah terjadinya infeksi dan kebocoran usus. Namun, pada kasus Maryam, dengan dukungan sejak awal, kelahiran oleh ibu sangat bagus. Nutrisi dan ASI terpenuhi sehingga usus Maryam bagus.
”Kami tidak kesulitan untuk mendapatkan ASI. Begitu lahir, ibu rajin memberikan ASI. Jadi, kebutuhan nutrisi dan ASI pada Maryam terpenuhi,” jelasnya.
Credit: Source link