Prabowo Subianto (JN)
Tony Rosyid
Pengamat Politik dan Pemerhati Bangsa
Siapa yang tidak kenal Prabowo. Ketua Umum Gerindra dan tokoh oposisi. Tak hanya bisa mengkritik, tapi juga pandai memuji dan mengapresiasi. Termasuk kepada lawan politik, yaitu Presiden Jokowi. Beginilah citra negarawan sejati.
Jauh dari dendam, apalagi ungkapan kata “memaki”. Tegas, tapi rendah hati. Selalu santun dan pandai menghargai. Semua pihak dihormati. Begitulah citra Prabowo membawa karakter diri. Tak ada sedikitpun kesan ambisi. Menghindari semua langkah yang mengarah kepada kepentingan pribadi.
Hingga saat ini, Prabowo belum juga menyatakan diri. Pasang orang, atau harus maju sendiri. Semua mesti matang dikalkulasi. Begitulah semestinya jiwa seorang politisi.
Bimbang? Tidak! Prabowo bukan tipe manusia gamang. Keputusannya selalu berdasarkan apa yang diyakini. Insting politiknya merupakan bagian dari keimanan yang ia percayai. Meski kadang mengundang banyak perbedaan persepsi.
Membaca situasi politik akhir-akhir ini, setidaknya ada tiga pilihan alternatif Prabowo yang bisa diprediksi. Pertama, Prabowo jadi wakil Jokowi. “Kompromi politik” terjadi. Bersama PDIP dan sejumlah partai lain mengadu nasib dalam koalisi. Akhirnya, pragmatisme menjadi basis kalkulasi. Apa kata dunia? itu nomor sekian.
Jika Prabowo menerima pinangan Jokowi, antara keuntungan dan risiko sama-sama tinggi. Jika duet ini terjadi dan menang, Gerindra tak lagi berada di luar pemerintahan. Memang, tak mudah menjadi partai oposisi, terutama terkait biaya dan kerja konsolidasi. Disini, mungkin Prabowo dan Gerindra akan dapat limpahan amunisi.
Duet Jokowi-Prabowo, meski 60-70% surveynya rakyat menghendaki, tapi tak otomatis lingkaran istana bersimpati. Bisa jadi malah antipati. Apalagi bagi partai koalisi. Ini sebuah ancaman yang menebar rasa iri. Hadirnya prabowo di kubu Jokowi akan berpotensi merubah formasi. Sejumlah kepentingan terganggu, termasuk manuver cawapres yang selama ini dilakukan sejumlah ketua partai koalisi. Akan kehilangan arah, karena hadirnya Prabowo jadi cawapres Jokowi akan dianggap menghalangi mereka punya ambisi.
Lebih terpuruk lagi jika Prabowo dikhianati. Ketika ketua Gerindra ini menyatakan siap, lalu di tengah jalan batal karena berbagai alasan, langkah Prabowo akan mati. Konstituen dan pendukungnya bisa lari. Prabowo tak laku, Gerindra terancam bubarkan diri. Nasibnya akan mirip Gatot Nurmantyo. “Merasa diberi harapan”, lalu ditinggalkan seorang diri.
Seandainya pun duet ini jadi, tidak sedikit pemilih Gerindra akan hengkang, lalu pamit diri. Mereka setia menemani Prabowo sebagai oposisi, tapi tidak sebagai tokoh koalisi. Ternyata, hanya segitu iman dan idealismenya! Bagitulah kira-kira ungkapan mereka yang kecewa Prabowo ikut koalisi. Kelompok ABJ yang semula simpati dipastikan akan menarik diri.
Kedua, Prabowo maju sendiri. Majunya Prabowo bisa membantu mendongkrak suara partai Gerindra. Mengingat pileg dan pilpres bersamaan di 2019, maka pencapresan Prabowo akan sangat berarti. Terutama bagi eskalasi suara Gerindra. Setidaknya untuk 2019 nanti.
Tapi, jika Prabowo kalah, tokoh bangsa ini tamat riwayatnya. Gerindra juga ikut terancam nasibnya. Sebab, Prabowo-Gerindra tak bisa dipisahkan. Kekalahan Prabowo akan menghancurkan kharisma kepemimpinan Gerindra. Rakyat semakin apatis. Tidak hanya kepada Prabowo, tapi juga kepada Gerindra.
Kekalahan Prabowo adalah kekalahan Gerindra untuk jangka panjang. Sebab, kegagalan Prabowo akan berpotensi menjadi “icon kekalahan” dalam sejarah partai Gerindra. Nama Prabowo-Gerindra akan melekat dengan kata “kalah”. Ini warisan dan jejak sejarah yang kurang baik bagi partai Gerindra kedepan.
Pasca kekalahan, menjadi oposisi kembali, terlalu berat. Masuk koalisi? Makin parah. Prabowo-Gerindra berpotensi punya nasib seperti Wiranto-Hanura dan Surya Paloh-Nasdem. Menjadi partai gurem. Tokohnya tak lagi layak jual dan akhirnya menyerah-kalah.
Ketiga, Prabowo pasang calon lain. Dengan mencalonkan orang lain, kharisma dan ketokohan Prabowo sebagai negarawan dan bapak bangsa terpelihara. Mirip SBY. Berada di belakang layar, tapi punya pengaruh dan disegani. Menang, nama Prabowo semakin besar dan berkibar. Kalah, tak akan terjatuh. Yang penting pandai membawa diri. Gerindra terselamatkan. Sebab ketokohan Prabowo terjaga dan aman.
Layaknya SBY, kalahnya AHY di pilgub DKI tak banyak berpengaruh buat presiden keenam dan partai Demokrat. Tapi jika menang, nama SBY dan Demokrat berpotensi gemilang.
Lalu, siapa yang tepat dimainkan Prabowo di pilpres 2019? Ada sejumlah nama. Diantaranya Anies Rasyid Baswedan, Gatot Nurmantyo, Ahmad Haryawan dan Tuan Guru Bajang. Dari nama-nama itu, sejumlah lembaga survey seperti CSIS, LSI, dan Indo Barometer merekomendasikan Anies Rasyid Baswedan. Potensinya besar, karena ada panggung dan punya banyak momentum. Posisinya sebagai gubernur DKI selalu “ON” untuk nge-“brand”.
Jika Anies yang diajukan Prabowo, maka Gerindra diuntungkan: pertama, dapat gubernur DKI. Karena sandiaga Uno adalah kader Gerindra. Bisa dipersiapkan jadi calon presiden masa depan. Menjadi gubernur DKI bisa jadi media untuk magang. Kedua, jika Anies menang, maka presiden juga punya Gerindra. Presiden dan gubernur DKI orangnya Gerindra. Layaknya Spanyol yang memenangi Piala Dunia dan Eropa di olahraga sepakbola, Gerindra, Partai asuhan Prabowo Subianto ini akan menguasai DKI dan Indonesia. Posisinya semakin kokoh. Gerindra berpeluang menjadi partai terbesar di negeri ini.
Membaca tiga alternatif di atas, secara politik, pilihan ketiga paling rasional. Plus minusnya dihitung berdasarkan pertama, hasil survey. Kedua, potensi dan peluang kemenangan. Ketiga, positif-negatifnya bagi masa depan Gerindra.
Apapun keputusan dan pilihan Prabowo di pilpres 2019 akan berdampak besar terhadap nasib partai berlambang burung garuda ini di masa depan.
TAGS : Prabow Gerindra Pilpres 2019
This article is automatically posted by WP-AutoPost Plugin
Source URL:http://www.jurnas.com/artikel/29301/Membaca-Pilihan-Politik-Prabowo-di-Pilpres-2019/