Belakangan ini, fenomena ngemis online mencuat. Salah satu yang paling menuai respons adalah live streaming mandi lumpur demi mendapatkan saweran dari warganet TikTok. Demi mengejar FYP dan meraup untung, lantas value konten urusan belakangan?
—
DI era transformasi digital, pengguna internet bisa memiliki multiprofesi. Yakni, profesi yang dilakukan secara fisik on-site dan yang dilakukan secara virtual atau online. Terjadi banyak pergeseran kultur dalam hal mencari pendapatan.
Media sosial pun menjadi lahan subur untuk mendapatkan income. TikTok sebagai aplikasi media sosial dengan pengguna terbanyak kedua di Indonesia –lebih dari 99 juta user– melahirkan banyak peluang virtual baru dalam mencari penghasilan. Di antaranya, dari konten yang di-create, live streaming, endorse, dan jualan produk.
Kemudahan itu memancing orang yang kreatif untuk menyajikan konten bermanfaat. Di sisi lain, memancing orang yang oportunis untuk meraup untung dengan konten sensasional. Salah satunya, live streaming mandi lumpur demi mendapatkan saweran dari warganet TikTok.
Bermula dari konten guyuran air di bak mandi, kemudian meluas ke lumpur begitu tahu banyak yang nonton. Awalnya anak muda, berlanjut ke lansia pun direkrut untuk live streaming mandi lumpur. Semua dilakukan mereka yang terlihat hopeless, memelas, rela melakukan apa saja demi (menurut pengakuan mereka) makan sehari-hari.
Konten-konten oportunis absurd lainnya juga banyak. Misalnya, suami istri saling tampar-tamparan. Setiap gift mewakili jumlah tamparan. Ada juga yang terang-terangan meminta sumbangan. Muncullah kemudian tren ngemis online.
Lahan yang sempurna untuk mereka yang oportunis. Mereka berlomba-lomba membuat konten sensasional demi mengejar algoritma #fyp (#foryourpage alias konten viral) untuk mendapatkan uang dan mendulang popularitas.
Padahal, sebenarnya ada banyak sekali konten kreatif dan edukatif dari kreator yang berdedikasi untuk menyebarkan nilai positif. Namun, konten kreatif malah tidak semeledak dan seviral konten mandi lumpur. Grup kreatif itu bahkan harus menempuh jalur yang cukup berkelok-kelok untuk bisa menaikkan followers yang akan menaikkan nilai rupiah kontennya.
Sebenarnya, TikTok memiliki Community Guidelines. Sekali ketahuan membuat konten yang melanggar etika digital, user TikTok tersebut akan langsung di-banned. Mereka tidak dapat menarik uang yang sudah dikumpulkan dari live streaming-nya atau penghasilan di luar live streaming TikTok.
Beberapa etika community guideline digital dalam berkonten di TikTok, antara lain, tidak menyajikan konten yang berindikasi menyesatkan dan menyebarkan perilaku negatif. Dalam hal itu konten mandi lumpur menyajikan indikasi mengemis gift karena menggunakan ekspresi wajah memelas dan kalimat minta sumbangan.
Kedua, tidak diperbolehkan melakukan live streaming dengan kegiatan yang minim interaksi dan komunikasi dengan penonton. Meninggalkan kamera dan hanya memutarkan lagu, secara etika penyiaran itu termasuk konten live yang akan di-banned.
Konten oportunis akan selalu ada dalam berbagai versi. Namun, selalu menggunakan pola yang sama, yakni menjual kesedihan dan mengemis belas kasihan. Sebab, banyak viewer yang gampang tertarik dengan hal yang berbau sensasi. Tidak usah khawatir, konten demikian akan menghilang seiring peningkatan literasi digital yang baik.
Bagi yang ingin memiliki personal branding yang kuat, amat disarankan untuk tidak membuat konten yang beretika rendah. Sebab, risikonya akan berdampak pada image yang kurang baik. Yang terparah, akun bisa dihentikan dan ditutup paksa oleh pihak TikTok.
Jangan kalah dengan mereka yang oportunis tanpa skill dalam membuat terobosan income di media sosial. Mereka yang punya tujuan jelas dan bermanfaat, konsisten, serta disiplin akan lebih mendapatkan impresi. Pada akhirnya, lahan penghasilan akan bertumbuh dalam jangka panjang.
*) FEMIKHIRANA W. SE CDS, Praktisi digital marketing, mentor keterampilan & etika digital, marketing manager Compass Publishing Indonesia
Credit: Source link