JawaPos.com – Miris, perjuangan industri kerupuk rumahan untuk bertahan hidup harus menghentikan usahanya karena mahalnya harga minyak goreng (migor) curah. Jika ada stok, harganya masih belum terjangkau. Perajin kerupuk di Dusun Sidolegi, Desa Parengan, Kecamatan Jetis harus menghentikan produksinya karena tak mampu menutup biaya produksi yang melonjak karena kenaikan bahan baku.
Sejak lima hari terakhir, industri rumahan milik Aisyah itu memutuskan berhenti produksi. Empat pekerjanya terpaksa dirumahkan. Sebab, pengolahan kerupuk teplek atau bandung yang telah berlangsung selama 26 tahun itu tak mungkin dilakukan di tengah lonjakan harga dan kelangkaan migor. ”Lima hari. Sampai sekarang sudah tidak produksi sama sekali,” ungkap Aisyah ucapnya kepada Radar Mojokerto, Kamis (24/3).
Keputusan menutup usaha diambil dengan perhitungan biaya produksi yang tak sebanding dengan penghasilan. Menurut dia, harga migor kemasan sekarang sangat mahal. Satu kilogram mencapai Rp 25 ribu.
Di lain sisi, migor curah sulit dicari di pasaran. Jenis migor yang ditetapkan satu harga itu sedang langka. Setiap agen yang didatangi selalu kehabisan stok. ”Katanya masih disubsidi ya kita senang. Eh ternyata barangnya kosong di mana-mana,” keluh perempuan 42 tahun tersebut. Kalaupun ada stok, harga migor curah ugal-ugalan. Yakni, Rp 23 ribu per kilogram. Jauh di atas HET yang ditetapkan pemerintah Rp 14 ribu per kilogram.
Kondisi demikian membuat industri rumahan yang dikelolanya bersama sang kakak mengalami tekor. Aisyah menjelaskan, dalam sehari, dirinya membutuhkan 50 kilogram migor. Jumlah itu untuk menghasilkan 10-12 ribu kerupuk.
Dengan harga migor yang ada saat ini, dia mengaku rugi besar. Pembengkakan ongkos produksi mencapai Rp 1,7-Rp 2 juta. ”Kalau saya paksakan beli minyak yang harganya mahal, itu sama dengan kerja bakti. Tidak dapat apa-apa,” cetusnya.
Editor : Mohamad Nur Asikin
Credit: Source link