JawaPos.com – Pengesahan UU Cipta Kerja menuai respons yang bertolak belakang. Penolakan terutama datang dari kalangan pekerja. Salah satunya terkait dengan upah.
Peneliti Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Bhima Yudhistira Adhinegara menyatakan, pembuat omnibus law atau UU Cipta Kerja sejak awal salah menganalisis upah dan produktivitas tenaga kerja. Upah tidak bisa disamakan dan dipukul rata, tetapi bergantung pada jenis pekerjaan dan industrinya.
Misalnya, upah tenaga kerja di industri otomotif yang butuh skill tinggi. Wajar bila upahnya mahal.
Kecuali, Indonesia ingin bersaing dengan India, Bangladesh, dan Ethiopia untuk mengejar low-cost labor industry. ”Yang penting tenaga kerja banyak, tapi upah rendah. Kalau model investasi yang kualitasnya rendah dikejar, wajar solusinya adalah omnibus law,” ujar Bhima kepada Jawa Pos tadi malam.
Sebaliknya, jika ingin menarik investasi yang hi-tech dan high skill labor, pemerintah seharusnya tidak bermain dalam perubahan regulasi upah dan tunjangan pekerja. Namun, pemerintah harus membenahi pendidikan, keterampilan, dan pemberian hak pekerja yang lebih baik.
Menurut dia, perusahaan berbagai produk brand internasional dengan target konsumen negara maju pasti menginginkan investasi yang memenuhi standar. Baik standar lingkungan, menghargai hak pekerja (fair labor and decent work), maupun transparan. Juga tidak terlibat dalam praktik suap atau korupsi.
Baca juga:
Bhima memandang omnibus law merupakan anomali. Justru mundur ke belakang. Alhasil, Indonesia sebenarnya turun kelas. Tidak bersaing dengan Vietnam dan Thailand, tetapi dengan negara-negara miskin dalam berebut investasi yang kualitasnya rendah. ”Jatuhnya, kita jualan kuantitas, bukan kualitas,” tegas Bhima.
Di sisi lain, Kepala Badan Koordinasi dan Penanaman Modal (BKPM) Bahlil Lahadalia mengklaim bahwa UU Cipta Kerja merupakan solusi yang akan menghilangkan hambatan dalam berbisnis atau berinvestasi di Indonesia. Mulai perizinan yang berbelit-belit hingga tumpang-tindih aturan. Dia yakin peringkat kemudahan berbisnis di Indonesia yang masih stagnan di urutan ke-73 bakal lebih baik.
Dia menuturkan, investasi dan penciptaan lapangan kerja amat diperlukan di kondisi ekonomi yang tertekan akibat pandemi Covid-19. ”Bayangkan kalau tidak mampu menciptakan lapangan pekerjaan untuk adik-adik kita. Kita akan menjadi generasi yang menyesal di kemudian hari,” katanya dalam paparan UU Cipta Kerja kemarin (8/10).
Dalam kesempatan itu, Bahlil juga mempertanyakan surat terbuka dari 35 investor global dengan nilai aset kelolaan (asset under management/AUM) mencapai USD 4,1 triliun kepada Presiden Joko Widodo. Mereka khawatir UU Cipta Kerja merusak kondisi lingkungan, sosial, dan pemerintahan. Selain itu, perubahan kerangka perizinan, persyaratan pengelolaan lingkungan dan konsultasi publik, serta sistem sanksi dikhawatirkan berdampak buruk pada lingkungan, hak asasi manusia, dan ketenagakerjaan.
Menurut Bahlil, ke-35 investor bukan pemilik modal yang menanamkan investasi di Indonesia. ”Setelah kami mengecek, 35 investor tersebut tidak terdaftar di BKPM sebagai perusahaan yang menginvestasikan dana di Indonesia. Bahkan, kami sudah mengecek ke Bursa Efek Jakarta. Ternyata tidak ada,” ungkapnya.
Di sisi lain, analis pasar modal Hans Kwee menuturkan bahwa pasar saham merespons positif pengesahan omnibus law. Tercatat, sejak RUU Cipta Kerja disahkan menjadi undang-undang pada Senin (5/10), indeks harga saham gabungan (IHSG) finis di zona hijau. Kemarin IHSG meningkat 0,70 persen atau 34,81 poin di level 5.039,14.
”Pasar merasa positif karena aturan lebih jelas dan terbuka serta mengakomodasi keinginan investor. Perizinan cepat dan upah buruh juga lebih terkendali,” ungkap Hans kemarin.
Investor melihat produk omnibus law sangat menguntungkan. Aturan tersebut menarik perhatian investor asing untuk menanamkan modal di tanah air. Dengan demikian, bukan tidak mungkin akan tercipta lapangan kerja baru.
Menurut dia, omnibus law membawa banyak kemudahan. Pembebasan lahan pada sektor properti dan konstruksi lebih gampang, adanya pembangunan infrastruktur teknologi komunikasi, serta aturan terkait dengan buruh akomodatif dan perizinan yang cepat bagi pengusaha. Namun, Hans juga menyadari bahwa UU sapu jagat itu mendapat banyak penolakan dari kaum buruh.
Dia mengungkapkan, saat realokasi bisnis Tiongkok ke luar negeri, banyak yang masuk ke Vietnam. Namun, hanya sedikit yang mampir di Indonesia. Hal itu dipengaruhi aturan yang ada di Indonesia. Karena itu, Presiden Joko Widodo mencetuskan membuat omnibus law untuk membereskannya.
Saksikan video menarik berikut ini:
Editor : Ilham Safutra
Reporter : dee/han/c14/fal
Credit: Source link