Gedung Mahkamah Konstitusi
Jakarta – Presidential threshold (PT) atau ambang batas pencalonan presiden dan wakil presiden sebesar 20 persen dinilai bertentangan dengan konstitusi. Untuk itu, Mahkamah Konstitusi (MK) diminta menolak PT tersebut.
Pakar Hukum Tata Negara Margarito Kamis mengatakan, PT 20 persen itu tidak selaras dengan putusan MK yang menyebut Pemilu 2019 digelar secara serentak antara Pemilihan Presiden (Pilpres) dan Pemilihan Legislatif (Pileg).
“Saya kira MK itu ngawur, pemilu serentak itu tidak ada presidential threshold. Saya minta MK jangan mengada-ada,” kata Margarito, kepada Jurnas.com, Jakarta, Jumat (6/7).
Dengan demikian, kata Margarito, MK tidak punya argumen untuk menolak gugatan untuk menghapus PT 20 persen tersebut dalam pelaksanaan Pilpres 2019 mendatang.
“Saya berharap MK mengabulkan. Karena MK tidak punya hak untuk menolak,” tegasnya.
Diketahui, sejumlah akademisi dan tokoh publik mengajukan gugatan presidential threshold ke MK. Mereka menilai presidential threshold sebesar 20 persen tersebut mendegradasi kadar pemilihan serentak oleh rakyat yang telah ditegaskan dalam UUD 1945.
Para penggugat PT 20 persen terdiri dari mantan pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dan akademisi. Mereka yakni Busyro Muqoddas, Bambang Widjojanto, Chatib Basri, Rocky Gerung, dan Faisal Basri.
Selain itu, ada Hadar N. Gumay (mantan pimpinan KPU), Robertus Robet (akademisi), Feri Amsari (Universitas Andalas), Angga Dwimas Sasongko (sutradara film), Dahnil Anzar Simanjuntak (Ketua Umum PP Pemuda Muhammadiyah), Titi Anggraini (Ketua Perludem), Hasan Yahya (profesional).
Pemohon uji materi ambang batas presiden ini akan dibantu oleh tiga orang ahli yakni Refly Harun, Zainal Arifin Mochtar, dan Bivitri Susanti.
TAGS : Pilpres 2019 presidential threshold Pemilu Serentak
This article is automatically posted by WP-AutoPost Plugin
Source URL:http://www.jurnas.com/artikel/37271/Pakar-MK-Itu-Ngawur/