JAKARTA, BALIPOST.com – Sejumlah pengusaha pertambangan mengeluhkan adanya overlapping atau tumpang tindihnya kebijakan terkait Wilayah Izin Usaha Pertambangan (W-IUP) yang dikeluarkan pusat dan daerah. Adanya overlapping kebijakan ini dinilai merugikan karena pengusaha telah mengeluarkan uang yang tidak sedikit untuk mengurus izin ke pusat, namun ditolak oleh pemerintah daerah, seperti yang terjadi di Kalimantan Tengah.
Surat Keputusan (SK) Gubernur Kalimantan Tengah Sugianto Sabran tentang pengembalian atau pembatalan permohonan wilayah Izin Usaha Pertambangan (W-IUP) dipertanyakan sejumlah pihak. Sebab, para pengusaha justru sudah memperoleh izin dari pemerintah pusat melalui Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral.
“Ya harus diakui, di Kalteng ada permasalahan di dunia pertambangan. Pertama, Gubernur Sugianto Sabran mengeluarkan SK Nomor 540/857/IV.1/DESDM tertanggal 11 Oktober 2022 yang kontroversial, yakni berisi pengembalian atau pembatalan permohonan W-IUP dan pembatalan W-IUP atau IUP yang mana para pengusaha sebenarnya sudah mendapat izin dari pemerintah pusat melalui Kementerian ESDM,” kata Direktur PT SJM, Rezky Ibrahim di Jakarta, Kamis (5/1).
Ia menjelaskan di 2021 telah terbit Peraturan Pemerintah atau PP Nomor 96 tentang Pelaksanaan Kegiatan Usaha Pertambangan Mineral Dan Batubara. Pada pasal 27 secara tegas menyebutkan bahwa permohonan W-IUP dan keputusan menerima atau menolak W-IUP menjadi kewenangan Pemerintah Pusat atau Menteri ESDM.
PP Nomor 96 tersebut sekaligus mencabut PP Nomor 23 Tahun 2010 dan PP Nomor 8 tahun 2018 yang menjadi pertimbangan Peraturan Menteri ESDM Nomor 7 tahun 2020 yang dijadikan acuan oleh Gubernur Sugianto untuk mengeluarkan SK Gubernur nomor 540/857/IV.1/DESDM.
Menurut Rezky, begitu surat permohonan dilimpahkan ke provinsi, Gubernur seharusnya meneruskan dan bukan malah membatalkan izinnya. “Akibat keputusan Gubernur Sugianto Sabran tersebut, lebih dari 160 perusahaan terkena dampaknya, baik berupa penolakan permohonan atau pembatalan W-IUP,” beber Rezky dikutip dari rilisnya.
Ia menambahkan sebenarnya Kalteng menyimpan berjuta potensi bahan tambang, mulai dari batubara, emas, tembaga, hingga komoditas mineral bukan logam jenis tertentu. Sayangnya, belum semua potensi tambang yang ada di kawasan tersebut bisa diolah karena banyaknya tumpang tindih perizinan.
Berdasarkan data, luas area yang mengalami tumpang tindih perizinan di Kalimantan Tengah mencapai 6,2 juta hektare atau 40,35 persen dari total luas wilayah provinsi yakni 15,357 juta hektare. Tumpang tindih perizinan yang diperoleh berdasarkan peta indikatif Minerba One Map Indonesia, terjadi antara satu sektor sumber daya alam dengan suber daya alam lainnya.
Tumpang tindih atau overlapping perizinan W-IUP eksplorasi yang dikeluarkan Pemerintah Pusat dengan Gubernur untuk komoditas mineral bukan logam jenis tertentu, misalnya, terjadi di enam kabupaten di Kalimantan Tengah, yaitu Kapuas, Kotawaringin Timur, Sukamara, Kotawaringin Barat, Murung Raya dan Barito Timur. “Sangat disayangkan, harusnya Gubernur Kalimantan Tengah mempercepat dan mempermudah perizinan. Sebab setiap investasi yang serius akan berdampak pada perekonomian rakyat, lapangan pekerjaan dan kesempatan berusaha kepada masyarakat sekitarnya,” kata Wahyu, pengusaha lainnya yang perusahaannya juga terkena imbas SK Gubernur.
Ia mengaku pihaknya sudah menanggung biaya yang timbul dari pengurusan izin melalui aplikasi minerba pusat, termasuk PNBP ke negara hampir Rp 1 miliar. Namun tidak ada pertanggungjawaban dan kejelasan oleh instansi terkait atas biaya yang telah dikeluarkan sampai sekarang. “Sementara kami juga memegang bukti pembayaran tersebut,” ungkapnya.
Selain itu, terjadi pula tumpang tindih lahan tambang antara perusahaan lama yang mengantongi SK Menteri dengan perusahaan baru yang tiba-tiba muncul dengan mengantongi SK Gubernur. Oleh sebab itu, menurut Wahyu, perlu transpranasi persyaratan perizinan untuk menjamin keadilan sektor perizinan pertambangan.
Selain itu juga perlu dilakukan penegasan terkait hak atas pemilik lahan sesuai dengan kewajiban yang harus dipenuhi pemegang IUP. “Apabila permasalahan-permasalahan ini dibiarkan, maka akan menghambat investasi yang berakibat tidak terjadi peluang kesempatan kerja dan peluang berusaha di sektor lain terkait. Dengan demikian roda perekonomian Kalimantan Tengah akan melambat dan berdampak langsung terhadap perekonomian nasional,” pungkas Wahyu. (kmb/balipost)
Credit: Source link