JAKARTA, BALIPOST.com – Penerapan teknologi digital dalam sektor pertanian Indonesia perlu dipercepat terutama dalam rangka menarik semakin banyak petani generasi muda. Peneliti Center for Indonesian Policy Studies (CIPS) Indra Setiawan mengingatkan hal itu, Rabu (26/5).
“Naiknya jumlah pemuda di sektor pertanian di masa pandemi ini dapat menjadi momentum tepat untuk memperluas adopsi teknologi di sektor pertanian. Sebanyak 85,62 persen di antara mereka merupakan pengguna internet dan berpeluang menjadi early adopter dari teknologi digital di sektor pertanian,” kata Indra Setiawan dikutip dari kantor berita Antara.
Menurut dia, sektor pertanian merupakan salah satu sektor yang memiliki daya lenting tinggi selama pandemi COVID-19. Hal tersebut dapat terindikasi antara lain dari data BPS yang menunjukkan adanya kenaikan jumlah tenaga kerja di sektor pertanian sebanyak 2,78 juta selama periode Agustus 2019 hingga Agustus 2020.
“Salah satu hal menarik dari tren kenaikan jumlah pekerja sektor pertanian adalah naiknya keterlibatan pemuda berumur 16-30 tahun. Survei Angkatan Kerja Nasional oleh BPS menyatakan sebanyak 20,62 persen pemuda Indonesia bekerja di sektor pertanian pada Agustus 2020, naik dari periode sebelumnya yang berjumlah 18,43 persen,” katanya.
Ia mengingatkan bahwa kehadiran teknologi digital pertanian dapat menghubungkan petani langsung dengan konsumen dapat mempersingkat rantai pasok, dengan demikian para petani juga dapat mengurangi ketergantungannya dengan tengkulak.
Selama ini, masih menurut dia, petani lebih banyak menjual hasil pertanian dalam jumlah besar ke tengkulak. Hal ini menyebabkan petani tidak memiliki daya tawar yang kuat untuk menentukan harga produsen. “Di samping itu, petani juga memiliki akses terhadap informasi harga komoditas di pasaran yang akurat dan transparan. Pemahaman yang kuat terhadap dinamika harga komoditas pertanian dapat membantu petani untuk menentukan harga produsen secara lebih terukur,” kata Indra.
Ia mengemukakan bahwa teknologi digital pertanian yang fokus pada jasa keuangan membuka lebih banyak akses terhadap sumber pendanaan yang cocok. Apalagi, ujar dia, saat ini petani kecil memang telah menikmati program kredit usaha rakyat (KUR) sebagai sumber pendanaan untuk aktivitas pertanian.
Namun, lanjutnya, rendahnya jumlah pinjaman maksimum menyebabkan petani tidak dapat bergantung pada KUR untuk kegiatan pertanian yang membutuhkan investasi besar seperti akuakultur, sehingga jasa keuangan digital khusus pertanian dapat menjadi solusi untuk hal ini. “Sayangnya, hanya segelintir petani yang dapat menikmati manfaat tersebut. Kebanyakan teknologi digital pertanian memiliki pengguna kurang dari 10.000. Artinya, jutaan petani masih belum memiliki akses terhadap teknologi digital pertanian. Hal ini dikarenakan masih banyaknya tantangan mendasar yang menghalangi petani untuk menggunakan teknologi digital pertanian yang mutakhir,” paparnya.
Untuk mengatasi hal tersebut, Indra menyarankan agar Kementerian Pertanian dan kementerian lain yang relevan perlu segera menyusun proyek-proyek nasional mengenai pengenalan teknologi digital pertanian. Kementan dapat melakukan perluasan cakupan kerjasama dengan pihak swasta untuk melakukan penetrasi di area lain.
Tantangan lainnya, masih menurut dia, adalah rendahnya literasi digital petani, di mana mayoritas petani Indonesia merupakan lulusan sekolah dasar yang rata-rata berumur lebih dari 45 tahun. “Pemerintah bersama swasta perlu terus mendorong pemanfaatan teknologi digital pertanian di Indonesia. Sektor pertanian terbukti menjadi tumpuan selama krisis akibat pandemi COVID-19 berlangsung, termasuk bagi anak muda. Oleh karena itu, inovasi teknologi digital di sektor pertanian patut didukung untuk meningkatkan kualitas sektor pertanian Indonesia,” ujarnya. (Kmb/Balipost)
Credit: Source link