NUSA DUA, BALIPOST.com – Pertemuan G20 Trade, Investment and Industry Ministerial Meeting (TIIMM) pada sektor investasi menghasilkan C Bali Compendium. Hal itu dikemukakan Menteri Investasi/Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) Bahlil Lahadalia, seperti dikutip dari kantor berita Antara, Jumat (23/9).
“Dari hasil pertemuan ini, terdapat satu konsensus yaitu Bali Compendium. Bali Compendium ini adalah panduan penting bagi perumusan strategi dan arah kebijakan investasi serta promosi investasi di masing-masing negara,” kata Bahlil di Nusa Dua.
Bahlil mengatakan, Indonesia berpandangan setiap negara harus mempunyai keleluasaan untuk menyusun strateginya dengan pendekatan komparatif di negaranya. “Ini adalah sebuah warisan dari pertemuan, di mana Menteri Perdagangan Zulkifli Hasan adalah ketuanya. Ini juga merupakan langkah maju yang dilakukan pemerintah Indonesia dalam mendorong investasi berkelanjutan yang inklusif,” ujar Bahlil.
Keleluasaan kebijakan investasi tersebut termasuk soal hilirisasi, dan sektor prioritas mana yang ditentukan suatu negara dalam hal investasi, agar tidak ada intervensi.
Bahlil memaparkan, terdapat lima poin yang Indonesia perjuangkan dalam G20 TIIMM sejak awal, yang pertama adalah soal arus investasi berkelanjutan bagi pertumbuhan ekonomi dan penciptaan lapangan kerja lewat industrialisasi dan tujuan pembangunan lainnya.
“Bahwa dalam beberapa bulan terakhir diskusi perdebatan antara anggota-anggota negara G20 dalam mendiskusikan hilirisasi, menemui tantangan yang sangat luar biasa, yang kemudian ini mendorong pada energi bersih (green energy ) dan industri hijau (green industry). Alhamdulillah perdebatan itu mampu kita selesaikan dan kita setujui,” ujar Bahlil.
Bahlil menambahkan, kesepakatan bersama soal hilirisasi oleh negara G20 juga sebagai wujud untuk menciptakan nilai tambah, sekaligus jawaban dalam visi Presiden Joko Widodo tentang transformasi ekonomi. “Ini informasi yang luar biasa. Oleh karena itu, kalau besok ada yang bawa kita ke Badan Perdagangan Dunia atau World Trade Organization (WTO) terkait hilirisasi, nah ini sebagai instrumen agar kita bagaimana bisa merasionalkannya,” tukas Bahlil.
Selanjutnya adalah soal pemangkasan prosedur investasi bagi negara-negara G20, di mana banyak negara anggota G20 menyatakan betapa pentingnya pemangkasan terhadap birokrasi yang bertele-tele dan tidak transparan. “Kita juga menyetujui dan memberikan contoh dari apa yang dilakukan Indonesia, dalam membuat Undang-undang (UU) Cipta Kerja dengan memangkas 79 UU dan sudah kita hasilkan, dimana itu salah satu bentuk dari proses transformasi yang kita lakukan terkait penyederhanaan,” kata Bahlil.
Selanjutnya, kesepakatan soal investasi yang masuk harus berkolaborasi dengan pengusaha lokal atau UMKM.
Menurut Bahlil, isu tersebut juga menjadi tantangan besar untuk bisa disepakati, karena sebagian negara berpendapat bahwa proses tersebut diserahkan melalui mekanisme pasar.
Namun, negara-negara berkembang mampu meyakinkan untuk menjadikan hal itu sebagai konsensus, sekaligus menjadikan pengusaha UMKM dan pengusaha daerah menjadi tuan rumah di negeri sendiri.
Berikutnya adalah tentang keadilan investasi, di mana 80 persen Growth Domestic Product (GDP) global dikuasai oleh negara G20, tapi penyebaran investasinya tidak merata. “Kita akhirnya menyepakati juga bahwa penting adanya pemerataan investasi,” ujar Bahlil.
Namun, Bahlil menambabkan bahwa perjuangan Indonesia mengenai harga karbon tidak mencapai kesepakatan. “Khusus perjuangan kami mengenai harga karbon, itu belum mencapai kesepakatan. Jd perjanjian paris pasal 6 tentang keadilan dalam harga karbon, kami sudah memperjuangkan namun belum ada kesepakatan. Tetapi penting mereka setujui bahwa keadilan investasi dan pemerataan harus kita lakukan,” pungkas Bahlil. (Kmb/Balipost)
Credit: Source link