Karyono Wibowo
Jakarta, Jurnas.com – Pakar politik yang juga Direktur Indonesian Public Institute (IPI) Karyono Wibowo membuat ulasan mendalam terkait dinamika politik nasional Pasca-Pilpres 2019. Berikut ulasannya:
Format koalisi pemerintahan Joko Widodo – KH. Ma`ruf Amin semakin ramai diperbincangkan. Sejumlah kekuatan politik sudah melakukan berbagai manuver melalui berbagai cara. Dari mulai kasak-kusuk secara diam-diam, melakukan lobi-lobi menggelar pertemuan tertutup maupun terbuka.
Namun demikian, melalukan manuver untuk memengaruhi keputusan politik bukan barang haram dalam dunia politik. Hal itu sudah menjadi kelaziman bahkan dipandang sebagai suatu keniscayaan, meskipun akhir dari episode pertarungan politik tersebut akan bermuara pada pembagian porsi kekuasaan.
Berbagai manuver politik, mulai dari pertemuan pertemuan Jokowi – Prabowo, pertemuan 4 ketua umum parpol koalisi minus PDIP, lalu ada juga pertemuan Mega – Prabowo hingga ketidakhadiran ketua umum parpol koalisi dalam acara pembubaran TKN Jokowi – Ma”ruf tentu menyiratkan adanya pergulatan politik yang belum tuntas terkait format dan komposisi kabinet pemerintahan.
Berbagai fenomena politik tersebut memberi sinyal bahwa masih ada perbedaan pendapat tentang format dan skema koalisi.
Namun, jika memperhatikan gejalanya, secara garis besar perdebatannya sudah mengerucut dalam dua pendapat, yaitu antara Koalisi Pengusung Jokowi – Ma`ruf ansich vs Koalisi Plus Plus. Pilihannya tinggal dua opsi.
Tetapi kedua pendapat tersebut tentu memiliki konsekuensi. Titik krusial pendapat yang pertama adalah tentang kekuatan dukungan politik di parlemen apakah sudah kuat atau belum. Bagaimana jika terjadi turbulensi politik di tengah masa pemerintahan.
Dari dua opsi tersebut, nampaknya opsi Koalisi Plus Plus lebih menguat karena lebih realistis. Pada opsi tersebut, perdebatannya tentang partai apa yang ideal.
5 Skema Format Koalisi
Wacana tentang format koalisi pemerintahan Jokowi jilid dua, sekurang-kurangnya ada 5 aliran pemikiran yang mencerminkan konfigurasi kekuatan politik.
Pertama, susunan kabinet pemerintahan koalisi yang hanya terdiri dari partai pengusung Jokowi – Ma`ruf; Kedua, kabinet pemerintahan koalisi parpol pengusung plus profesional; Ketiga, kabinet pemerintahan rekonsiliasi yang terdiri dari gabungan dua koalisi parpol tanpa oposisi;
Keempat, kabinet pemerintahan koalisi parpol pengusung plus parpol di luar koalisi ditambah kalangan profesional; Kelima, zaken kabinet, yaitu kabinet pemerintahan yang jajarannya diisi oleh para tokoh ahli di dalam bidangnya dan bukan merupakan representasi dari partai politik tertentu.
Lima aliran pemikiran itulah yang mendominasi wacana pembentukan kabinet pemerintahan Jokowi – Ma`ruf Amin. Lima aliran pemikiran tersebut tentu mencermikan berbagai kepentingan politik dalam postur kabinet mendatang.
Namun, dari lima aliran pemikiran tersebut, yang paling mungkin diwujudkan hanya ada dua aliran yaitu kabinet pemerintahan koalisi partai pengusung plus profesional dan kabinet pemerintahan koalisi partai pengusung plus beberapa parpol di luar partai pengusung ditambah kalangan profesional. Tiga aliran yang lain sulit direalisasikan.
Selain 5 format kabinet tersebut, sebenarnya ada juga format lain yang tengah menjadi wacana, yaitu, koalisi hanya terbatas pembagian kekuasaan di parlemen. Tapi wacana ini tidak terlalu populer.
Meskipun dalam sistem presidensial, presiden memiliki kewenangan penuh dalam membentuk kabinet termasuk membentuk zaken kabinet tetapi praktiknya sulit diwujudkan karena dalam koalisi partai yang terbentuk sebelum pemilihan tentu sudah ada komitmen politik mengenai kursi kekuasaan, meskipun tidak tertulis.
Selain itu, yang menjadi masalah utama dalam membentuk zaken kabinet yang jajaran menterinya hanya terdiri dari para tokoh yang memiliki ahli dibidangnya adalah adanya perasaan tidak adil dan tidak fair. -yang dapat menimbulkan kecemburuan di tubuh parpol pengusung yang merasa berjuang dan memiliki kontribusi dalam memennagkan pemilihan presiden.
Di sisi lain, pemerintahan yang terbentuk membutuhkan dukungan politik di parlemen untuk memuluskan berbagai regulasi untuk melaksanakan agenda pemerintahan.
Pun demikian sebaliknya, kabinet pemerintahan yang hanya mengakomodir parpol pengusung untuk mengisi jabatan menteri dan setingkat menteri dalam kabinet sulit diwujudkan.
Pasalnya, pelaksanaan pemerintahan dibutuhkan figur yang memiliki kompetensi -yang tidak semuanya tersedia di partai politik. Apalagi, jika dalam hal dukungan politik di parlemen dirasa belum cukup, maka secara matematis memerlukan tambahan dukungan dari partai lain di lauar parpol pengusung.
Oleh karenanya, agar kabinet pemerintahan yang dibentuk berjalan efektif diperlukan kesimbangan antara dukungan parpol dan kalangan profesional.non parpol.
Kabinet rekonsiliasi tanpa oposisi yang menjadi wacana publik sejatinya sah-sah saja karena di dalam konstitusi memang tidak dikenal istilah oposisi, sehingga tidak ada keharusan adanya oposisi.
Meski demikian, dalam sistem demokrasi, sebaiknya ada kekuatan politik yang mengontrol jalannya pemerintahan agar ada check and balance. Tetapi, persoalannya bukan disitu saja, sulitnya merealisasikan kabinet pemerintahan rekonsiliasi tanpa oposisi disebabkan adanya kalkulasi politis dan ideologis.
Misalnya, PKS mungkin dipandang tidak diperlukan untuk bergabung dalam koalisi pemerintahan karena dipandang memiliki pandangan politik dan ideologi yang tidak sejalan dengan koalisi karena dalam koalisi di pemerintahan idealnya memerlukan komitmen politik dan platform yang sama secara ideologis.
Namun, di sisi yang lain, koalisi gemuk juga tidak selalu menguntungkan karena banyak benturan kepentingan yang tak jarang membuat koalisi terjebak dalam konflik kepentingan.
Oleh karena itu, disinilah diperlukan kalkulasi politik yang ideal, sama dengan menjaga kesimbangan antara berat badan dengan tinggi badan agar tubuh bisa bergerak gesit. Keseimbangan itulah yang dibutuhkan dalam membangun koalisi pemerintahan agar mencapai kinerja yang maksimal.
Maka solusinya adalah bagaimana membangun kesimbangan dan mampu melakukan manajemen pemerintahan untuk mengendalikan konflik agar pemerintahan bisa berjalan on the right track.
Disitulah relevansinya jika koalisi pemerintahan Jokowi – Ma`ruf seandainya hanya menarik Gerindra ke dalam koalisi maka lebih ideal dibanding menarik PAN dan Demokrat, jika kedua parpol tersebut meminta porsi kekuasaan terlalu besar. Karena dengan bergabungnya Gerindra, maka akan menambah dukungan politik di parlemen.
Jika dihitung dari jumlah kursi di DPR, parpol pendukung pemerintah mencapai sekitar 72 persen. Sehingga posisinya cukup kuat, asalkan semua partai pendukung konsisten, tidak berkhianat dan main dua kaki. Jadi, kalaupun ada turbulensi politik, tidak mudah untuk menggoyang pemerintahan.
Oleh karena itu diperlukan komitmen politik yang istikomah dari semua partai koalisi. Namun, biasanya, menjelang pemilu biasanya masing-masing partai koalisi memiliki agenda masing-masing yang tak jarang menciptakan keretakan.
TAGS : Indonesian Public Institute kabinet koalisi
This article is automatically posted by WP-AutoPost Plugin
Source URL:http://www.jurnas.com/artikel/56552/Polemik-Format-Koalisi-Plus-Plus/