Ketua PP Muhammadiyah, Haedar Nashir, Ketua MPR, Bambang Soesatyo dan Wakil Ketua MPR, Arsul Sani
Jakarta, Jurnas.com – Pengurus Pimpinan Pusat (PP) menerima silaturahmi kebangsaan MPR RI. Silaturahmi itu langsung dipimpin oleh Ketua MPR, Bambang Soesatyo dan wakilnya, Zulkifli Hasan, Arsul Sani dan Hidayat Nur Wahid.
Ketum PP Muhammadiyah, Haedar Nashir mengatakan, dalam silaturahmi itu pimpinan MPR meminta masukkan terkait berbagai persoalan kebangsaan yang dihadapi bangsa indonesia, termasuk amandemen terbatas UUD 1945.
“PP Muhammadiyah menyampaikan bahwa Indonesia ini dibangun lewat kontinuitas yang panjang selama 74 tahun setelah merdeka pada masa orde lama secara simpel, orde baru, kemudian terakhir reformasi,” kata Haedar usai pertemuan di gedung Dakwah Muhammadiyah, Menteng, Jakarta, Senin (16/12/2019).
Menurut Haedar, reformasi merupakan kelanjutan sekaligus koreksi dari dua periode sebelumnya yaitu Orde Lama dan Orde Baru. Dimana, semangatnya adalah demokratisasi dan penegakkan nilai-nilai kebangsaan sebagaimana cita-cita nasional.
Lebih lanjut, Haedar menjelaskan, salah satu semangat reformasi yakni terkait pemilihan presiden dan wakil presiden secara langsung bersama dengan amandemen UUD 45.
“Karena itu Muhammadiyah memandang bahwa tonggak pertama ini, yakni pemilihan presiden dan wakil presiden secara langsung oleh rakyat harus tetap dipertahankan,” katanya.
Selain itu, PP Muhammadiyah, kata Haedar juga menginginkan agar Presiden hanya boleh menjabat selama dua periode dan setiap periode hanya boleh menjabat selama lima tahun.
“Muhammadiyah juga tetap berpandangan bahwa presiden dan wakil presiden terpilih ke depan itu tetap lima tahun dan maksimal dapat dipilih kembali untuk satu periode lagi sehingga ini menjadi dua periode jika memang rakyat menghendaki,” tegas Haedar.
Menurut Haedar, amandemen UUD 45 harus didasarkan pada kepentingan yang paling mendasar, urgen, dan juga menyangkut hajat hidup kebangsaan.
Untuk itu, PP Muhammadiyah mendukung wacana amendemen terbatas UUD 1945 untuk menghidupkan kembali Garis-garis Besar Haluan Negara (GBHN).
“Apa yang perlu penguatan? Yakni Garis Besar Haluan Negara (GBHN). Kenapa garis besar haluan negara? Kita tahu bahwa di pembukaan UUD 45 ada prinsip-prinsip mendasar kita dalam berbangsa tentang tujuan nasional, kewajiban pemerintahan, kemudian juga prinsip-prinsip kita merdeka, dan sebagainya,” katanya.
“Nah, nilai-nilai mendasar ini tidak mungkin dibiarkan begitu saja tanpa terelaborasi garis besar haluan negara. Nah disitulah harus ada terkandung presiden dan wakil presiden terpilih siapapun dan sampai kapanpun itu dia harus punya pedoman, nah GBHN itulah pedomannya,” sambungnya.
Dari pedoman GBHN itu, lanjut Haedar, maka akan lahir Visi dan Misi Presiden. “Nah visi misi presiden terpilih itu tidak boleh lepas dari (Pedoman) GBHN,” tegasnya.
Agar mendapatkan Pedoman GBHN yang baik dan representatif, tentu perlu kajian-kajian yang mendalam dan tidak tergesa gesa.
“Dalan konteks ini maka juga ada konsekuensi penguatan MPR, yakni menetapkan GBHN. Sehingga MPR itu juga tidak menjadi lembaga ad hoc seperti sekarang ini. (Kalau GBHN dikuatkan) Nanti ke depan akan terjadi keseimbangan karena kekuasaan apapun di indonesia sesuai dengan jiwa semangat kemerdekaan tidak boleh tidak terbatas,” katanya.
Apabila semua lembaga, baik eksekutif, Yudikatif dan legislatif sudah seimbang, maka prinsip check and balances antar seluruh institusi kenegaraan akan lahir dan akan sangat kuat.
“MPR sudah terbatas, DPR juga harus terbatas, kemudian lembaga yudikatif terbatas, presiden dan wakil presiden biarpun dipilih oleh rakyat dia juga harus tidak tak terbatas,” sambungnya.
TAGS : MPR GBHN PP Muhammadiyah Bamsoet
This article is automatically posted by WP-AutoPost Plugin