JawaPos.com – Digitalisasi berkembang dengan sangat pesat bahkan merambah cepat hingga industri keuangan. Masyarakat Indonesia yang mulai sadar terhadap manfaat investasi tertarik pada aset kripto hingga karya seni virtual yang dapat diperjualbelikan di dunia maya dalam bentuk non-fungible token (NFT).
Direktur Penyuluhan, Pelayanan, dan Hubungan Masyarakat Ditjen Pajak, Neilmaldrin Noor, mengaku hingga saat ini, pemerintah masih mengkaji terhadap pajak aset tersebut. Sehingga Pemerintah belum mengenakan pajak secara khusus terhadap transaksi digital tersebut.
“Sampai dengan saat ini, transaksi NFT maupun kripto masih dalam pembahasan pemerintah,” kata Neilmaldrin Noor saat dihubungi oleh JawaPos.com, Jumat (14/1).
Neilmaldrin memaparkan, ketentuan umum aturan perpajakan terhadap aset investasi tersebut tetap dapat digunakan. Sebagaimana disebutkan dalam UU PPh, setiap tambahan kemampuan ekonomis dikenakan pajak.
Menurutnya, aset NFT maupun aset digital lainnya wajib dilaporkan di SPT Tahunan dengan menggunakan nilai pasar tanggal 31 Desember pada tahun pajak tersebut. “Hal itu termasuk transaksi yang sedang kita bahas ini, maka tetap dikenakan pajak dengan sistem self assessment,” tuturnya.
Mengutip situs pajak.go.id, di Indonesia, cryptocurrency diperlakukan hanya sebagai aset yang dapat diperdagangkan atau komoditas (aset kripto), bukan sebagai alat pembayaran.
Untuk memberikan kepastian dan perlindungan hukum dalam industri aset kripto, Badan Pengawas Perdagangan Berjangka Komoditi (Bapepti) telah mengeluarkan Peraturan Bapepti tentang ketentuan teknis penyelenggaraan pasar fisik aset kripto di bursa berjangka, dan Peraturan Bapepti tentang daftar aset kripto yang dapat diperdagangkan di pasar fisik aset kripto.
Melihat kenaikan jumlah investor dan kenaikan harga aset kripto yang fantastis, tentu terdapat potensi pajak yang dapat digali dari hasil keuntungan investor. Untuk menghindari potensi kerugian atas penerimaan negara, pemerintah dalam hal ini Kementerian Keuangan perlu segera merumuskan kebijakan pemungutan pajak atas cryptocurrency dan skema pemajakannya.
Namun, aturan perpajakan atas cryptocurrency perlu dilakukan analisis dan kajian mengenai aspek apa saja yang dapat dikenakan pajak agar tidak menggangu ekosistem bisnis aset kripto ini. Adapun jenis pajak yang dapat dikenakan atas cryptocurrency diantaranya tertera dalam Pasal 4 UU Nomor 7 Tahun 1983 s.t.t.d. UU Nomor 36 Tahun 2008 tentang Pajak Penghasilan.
Dalam hal ini, objek pajak penghasilan adalah setiap tambahan kemampuan ekonomis yang diterima wajib pajak, baik yang berasal dari Indonesia maupun dari luar Indonesia, yang dapat dipakai untuk konsumsi atau untuk menambah kekayaan wajib pajak yang bersangkutan, dengan nama dan dalam bentuk apapun.
Kenaikan harga cryptocurrency yang dimiliki oleh investor adalah capital gain, yaitu keuntungan yang diperoleh dari selisih harga beli dan harga jual. Misalnya, Pak Budi membeli Bitcoin dengan modal Rp 200 juta, pada saat pembelian harga satu Bitcoin senilai Rp 100 juta. Kemudian, harga Bitcoin naik menjadi Rp 200 juta, naik 100 persen. Kenaikan harga Bitcoin, membuat modal Pak Budi juga mengalami kenaikan menjadi Rp 400 juta. Pak Budi meraup keuntungan sebesar Rp 200 juta.
“Keuntungan inilah yang menjadi objek pajak. Jenis pajak penghasilan yang dapat dikenakan atas keuntungan jual-beli cryptocurrency ini adalah PPh Pasal 25/29, yaitu wajib pajak secara mandiri (self assessment) membayar sendiri pajak yang terutang,” tulisnya.
Namun, sistem pemungutan pajak atas cryptocurrency apabila dilakukan secara self assessment akan menjadi tidak optimal. Kendala yang dialami adalah masalah pencatatan, pelaporan, dan audit. Wajib pajak harus disiplin mencatat setiap transaksi untuk menghitung keuntungan, pada harga berapa aset kripto dibeli dan dijual. Hal ini tentu akan menyulitkan sehingga meningkatkan ketidakpatuhan wajib pajak.
Kemudian, peraturan perpajakan atas cryptocurrency yang belum jelas juga membuat wajib pajak kesulitan dalam melaporkan pajaknya. Terakhir, cryptocurrency diciptakan untuk transaksi yang aman tanpa melibatkan pihak ketiga, kerahasiaan data membuat otoritas pajak sulit untuk melakukan pengawasan.
Dengan adanya rencana dari Bapepti untuk membentuk Bursa Kripto, semakin memperjelas regulasi tentang ekosistem investasi cryptocurrency di Indonesia. Hal ini merupakan keuntungan bagi investor karena memberikan kepastian hukum dan keamanan dalam berinvestasi, dan juga lembaga lain khususnya otoritas pajak untuk melakukan penggalian potensi pajak.
Pemajakan cryptocurrency dapat dilakukan sebagaimana pengenaan pajak atas transaksi saham atau aset derivatif di bursa, yaitu dikenakan secara final sesuai Pasal 4 ayat (2) UU Pajak Penghasilan. Dengan adanya Bursa Kripto, skema pengenaan pajak dapat dilakukan secara withholding system agar penerimaan lebih optimal dengan Bursa Kripto sebagai pemungut.
Untuk saat ini, pemerintah dapat menunjuk pedagang aset kripto sebagai pemungut pajak sembari menunggu peresmian Bursa Kripto. Saat ini, terdapat tiga belas pedagang aset kripto yang sudah terdaftar dan diawasi oleh Bapepti.
Selain itu, potensi Pajak Pertambahan Nilai juga terdapat dalam transaksi cryptocurrency. Sudah jelas bahwa pemerintah menganggap cryptocurrency sebagai aset, bukan sebagai alat pembayaran. Aset kripto tidak termasuk dalam daftar negatif Pasal 4A UU PPN. Maka, transaksi atas penyerahan cryptocurrency dapat dikenakan Pajak Pertambahan Nilai.
Editor : Bintang Pradewo
Reporter : Romys Binekasri
Credit: Source link