Hanya Demi Kepuasan, Abai Realitas
Seriel bergenre boys’ love (BL) yang sedang marak di Thailand, Korea Selatan, Tiongkok, dan Jepang membuat saya tergelitik. Sebagai orang yang menaruh minat pada isu gender dan seksualitas di masyarakat, terlebih LGBTQIA+, bagi saya ini adalah momentum besar dan segar. Genre tersebut mengangkat kisah asmara dua laki-laki. Eros, bukan filia. Romantis, bukan platonik. Golongan LGBTQIA+ jadi punya representasi lebih di jagat sinema atau serial. Harapan saya, ini nggak cuma memberi hiburan buat fans aktor-aktornya yang memang (seringnya) ganteng. Saya berharap ada advokasi dan penyuaraan hak-hak dasar kaum LGBTQIA+ lewat media serial.
Selama dua tahun menyaksikan beberapa serial BL (so far masih Thailand dan Korea Selatan. Namun, Thailand lebih sering karena banyak production house yang rilis), saya sepertinya berekspektasi terlalu banyak. Serial-serial BL yang saya tonton seringnya abai dengan isu utama kaum LGBTQIA+. Hubungan percintaan dua laki-laki hanya dimaknai sebatas ciuman, cuddling, bertukar rayuan, atau bahkan hanya seputar seks.
Hal itu dilakukan dalam kondisi yang menurut saya kelewat utopis. Khayal, cenderung mustahil. Contohnya, dua laki-laki pacaran tanpa adanya teman, keluarga, atau orang di sekitar mereka yang merundung seksualitas mereka. Atau, seorang laki-laki yang sebelumnya mengencani perempuan, tiba-tiba tanpa pergulatan batin berarti, mabuk kepayang dan bucin sama sesama laki-laki.
Hal itu mungkin awalnya terlihat bagus. Menunjukkan kondisi ideal masyarakat menerima keberagaman seksualitas dan memberi harapan (atau bahkan mungkin impian) bagi kaum LGBTQIA+. Namun, di sisi lain, penihilan isu perundungan, penolakan, persekusi, konflik batin, kegamangan diri, coming in, dan coming out, membuat sejumlah serial BL terkesan cuek dengan isu-isu tersebut. Padahal, golongan LGBTQIA+ rentan dengan konflik eksternal (perundungan, penolakan, dan persekusi) dan internal (kegalauan identitas, perasaan bersalah, perasaan terasing, dan kesehatan mental).
Selain itu, hubungan asmara LGBTQIA+ nyatanya tak semanis di BL. Ada yang rela disakiti pasangannya karena takut kehilangan. Ada yang harus diusir keluarganya karena memilih berpacaran dengan orang yang sejenis, ada yang ditolak institusi agama lantaran pilihan hidupnya, bahkan ada yang dikucilkan dari pergaulan. Saya heran ketika ada fans BL (yang seringnya adalah perempuan heteroseksual) bilang bahwa hubungan sejenis adalah hubungan yang indah. Sepertinya dia hanya tahu hubungan sejenis dari BL, bukan di RL (real life. kehidupan nyata). Halunya ketinggian.
Bahkan, beberapa serial menormalisasi pelecehan dan kekerasan seksual. Ada juga yang memasukkan adegan erotis meski sebenarnya nggak perlu-perlu amat dan abai konteks hanya demi memuaskan pandangan mata penonton. Seolah menegaskan bahwa kaum gay adalah golongan sex oriented dan mesum. Ini yang bikin saya dongkol.
Belum lagi dikotomi top-bottom atau seme-uke oleh para fans BL. Top alias seme sering dianggap sebagai “laki-laki” atau “suami”, sosok yang aktif secara seksual. Sementara itu, bottom atau uke kerap dianggap “perempuan” atau “istri”, sosok yang pasif secara seksual. Penggunaan istilah itu menurut saya sudah menunjukkan betapa hubungan homoseksual pun terpapar heteronormativitas.
Buat apa menganggap salah satu dari mereka perempuan, kalau secara fisik mereka laki-laki? Lalu, mengapa golongan bottom atau uke yang dianggap “perempuan” digambarkan lemah dan submisif? Bukankah harusnya hubungan -heteroseks ataupun homoseks- mengedepankan kesetaraan?
Berdasarkan beberapa literatur studi serta esai, sebenarnya yang membuat genre BL terlihat abai pada isu LGBTQIA+ adalah faktor pencipta. Merujuk ke penelitian Sueen Noh (2001), genre BL (yang awalnya marak dirilis dalam bentuk komik atau novel, lantas belakangan diadaptasi atau diproduksi menjadi serial) dibuat oleh perempuan heteroseksual untuk pembaca perempuan heteroseksual. Genre BL lahir dari kesenangan mereka melihat dua laki-laki tampan berinteraksi intens dan romantis. Bahkan, berhubungan badan. Thomas Baudinette dalam penelitiannya (Japanese gay men’s attitudes towards ‘gay manga’ and the problem of genre,2017), menjelaskan bahwa genre BL adalah sarana bagi perempuan heteroseksual untuk mengeksplorasi seksualitas dan fantasi mereka.
Baudinette lantas mengutip pernyataan sikap aktivis gay Jepang, Masaki Sato, terhadap genre BL atau dalam bahasa Jepang kerap disebut yaoi. Sato mengatakan bahwa penggambaran gay di komik BL sangat tidak sesuai realitas. Pada 1992, Sato bahkan menyerang kreator komik BL dengan menyebut bahwa para kreator dan pembaca BL sama sekali tidak memberi dampak apapun pada kesejahteraan kaum gay. Dia juga mengkritik bahwa para fans BL hanya peduli pada sosok gay tampan seperti di komik BL dan tidak peduli pada sosok gay yang tidak memiliki penampilan rupawan.
Lebih lanjut, Sato menyebut bahwa genre BL membuat kaum gay bak objek pemuas nafsu para pembaca perempuan heteroseks yang biasa disebut fujoshi. “Mereka layaknya pria tua yang menikmati pornografi di mana para perempuan bermesraan satu sama lain,” ujar Sato.
Selain itu, BL juga bisa jadi turunan dari perasaan misogini alias kebencian pada perempuan. Sejumlah perempuan penikmat BL tidak suka ketika seorang lelaki tampan bermesraan dengan perempuan. Sebab, mereka merasa tersaingi dan lelaki idaman mereka direbut. Apalagi kalau sosok perempuan itu rupawan. Wih makin kenceng bencinya. Nah, dengan mengganti sosok perempuan jadi laki-laki, perasaan tersaingi itu berkurang. Sebab, sejumlah pembaca akan berpikir “Aku lebih ikhlas kamu sama cowok. Kalau sama cewek, harus sama aku.” Begitu kira-kira.
Ketika BL berubah dari tulisan atau gambar (komik atau novel) ke audio visual (serial), “dosa” yang sama terulang. Mulai dari penggambaran karakter yang tidak realistis, adegan seksual yang abai konteks, hingga jalan cerita yang tidak masuk akal. Semua hanya demi kesenangan para penonton semata dan keuntungan komersil rumah produksi.
Promosi BL semakin bikin saya muak. Para aktor pemeran BL harus melakukan fanservice dalam upaya meningkatkan engagement dengan fans. Dua aktor pemeran sepasang kekasih di serial BL harus bertindak layaknya sepasang kekasih sungguhan. Membuat para fans percaya bahwa mereka real dan semakin getol shiping (menjodoh-jodohkan).
Dari sinilah para production house atau manajemen artis bintang BL mengeruk cuan. Bisa lewat iklan, acara produk, jumpa fans, hingga photobook yang memamerkan kedua aktor dalam pose atau interaksi mesra. Kapitalisasi dengan kedok mendukung hak LGBTQIA+ . Padahal belum tentu semua fans aktor-aktor BL itu mendukung dan toleran pada golongan LGBTQIA+. Belum tentu juga aktor-aktor BL itu sungguhan gay, sekutu LGBTQIA+ , atau bahkan nyaman melakukan fanservice.
Hal ini mungkin kelihatan biasa-biasa saja. Lucu, bahkan. Namun, dengan melakukan fanservice, manajemen artis atau rumah produksi sebenarnya melakukan queer cultural appropriation. Mereka menggunakan budaya queer (dalam hal ini gay) demi menguntungkan diri sendiri tanpa memberi kredit, apresiasi, atau advokasi berarti bagi kelompok LGBTQIA+ .
Di tengah pengalaman saya mengeksplorasi BL, saya bertemu dengan serial Thailand produksi Nadao Bangkok. I Told Sunset About You, judulnya. Serial besutan sutradara Naruebet Kuno alias Boss itu terdiri dari 10 episode yang dibagi jadi 2 part (part 2 diberi judul I Promised You The Moon). Bintang utamany adalah Puthipong Assaratanakul (Billkin) dan Krit Amnuaydechkorn (PP).
Lantas, beberapa bulan lalu, saya menemukan serial orisinal Netflix berjudul Heartstopper. Serial yang diadaptasi dari novel grafis karya Alice Oseman itu terdiri dari 8 episode. Dibintangi Joe Locke dan Kit Connor, Heartstopper dikonfirmasi akan memiliki season 2 dan 3. Setelah menonton I Told Sunset About You (ITSAY) dan Heartstopper, saya bersyukur. Akhirnya ada serial yang menyajikan cerita dan karakter golongan LGBTQIA+ dengan manusiawi dan menghangatkan
Identitas dan Kegamangan yang Terwakilkan di Coming-of-Age
ITSAY berkisah tentang Teh (Billkin) dan Oh-aew (PP). Mereka awalnya bersahabat sejak kecil. Namun, karena persaingan dan kesalahpahaman, hubungan Teh dan Oh-aew merenggang. Keduanya lantas bertemu kembali saat remaja di sebuah tempat kursus bahasa Mandarin di Phuket, Thailand. Kala itu, keduanya sedang mempersiapkan diri untuk ujian masuk universitas.
Perlahan, persahabatan Teh dan Oh-aew terjalin kembali. Namun, seiring waktu, ada perasaan lain yang muncul. Bukan persahabatan atau kasih sayang antarsahabat, melainkan sebuah perasaan romantis. Teh dan Oh-aew kembali dihadapkan pada pergumulan internal.
Teh-yang awalnya digambarkan bingung dengan seksualitasnya. Dia sempat berkencan dengan seorang gadis, Tarn (Parada Thitawacira). Namun, perlahan Teh merasakan ketertarikan ke Oh-aew. Berulang kali Teh mencoba mengenyahkan perasaan romantisnya ke Oh-aew dan hanya ingin menjadi sahabat. Sebab, dia merasa dirinya adalah laki-laki yang (harusnya) tertarik pada perempuan.
Proses coming out atau melela-proses krusial berupa pengungkapan orientasi atau ketertarikan seksual golongan LGBTQIA+ juga dilakukan Teh. Orang pertama yang mengetahui ketertarikannya pada lelaki adalah sang kakak, Hoon (Nat Kitcharit). Dengan berlinang air mata, Teh mencurahkan perasaannya ke sang kakak, yang dengan besar hati bisa memahami situasi sang adik. Indah sekaligus mengharukan.
Di sisi lain, Oh-aew dikisahkan tertarik pada laki-laki. Awalnya, Oh-aew mengaku suka pada Bas (Pongpol Panyamit), teman sekolahnya. Namun, Oh-aew pun perlahan suka pada Teh. Namun Teh masih menyangkal dan bingung atas perasaannya. Ini membuat Oh-aew merasa sedih. Perasaannya seolah bertepuk sebelah tangan.
Karakter Oh-aew-yang digambarkan cenderung feminin juga merupakan angin segar. Mengutip artikel Melalin Mahavongtrakul dari Bangkok Post, penggambaran tersebut seolah mendobrak stereotip karakter lelaki maskulin yang kerap muncul di serial BL. Sebab, karakter lelaki feminin -baik di serial bergenre BL ataupun yang lain- kerap dijadikan comic relief atau lucu-lucuan saja. Jarang sekali melihat ada karakter lelaki feminin yang pergulatan emosi dan batinnya dieksplorasi.
Kegamangan Teh dan Oh-aew dalam menghadapi seksualitas merupakan daya tarik serial ini. Sepanjang part 1 serial ini, kita akan melihat bagaimana Teh dan Oh-aew bergulat dengan batin mereka. Jika Teh mempertanyakan seksualitasnya, maka Oh-aew sempat merasa dia terlahir di tubuh yang salah. Dia berpikir “Andai aku terlahir sebagai perempuan, hidupku tak akan semerana ini”.
Proses pergulatan dan jati diri inilah yang dengan apik mencerminkan bagaimana golongan remaja LGBTQIA+ mengenali diri di masa puber. Alih-alih bergenre BL, ITSAY bergenre coming-of-age, sebuah genre yang fokus pada pendewasaan karakter. Dan, menurut saya, genre itu lebih cocok karena para kreator dengan apik menggambarkan bagaimana Teh dan Oh-aew bertumbuh sambil mengenali identitas, emosi, dan seksualitas mereka.
Pemaparan cerita ITSAY didukung dengan aspek filmis lain yang ciamik. Mulai dari sinematografi, scoring, warna, pengadeganan, hingga akting memukau para cast. Adegan skinship (sentuhan fisik) ada, namun berkonteks dan tidak berlebihan. Oleh sejumlah pengamat, ITSAY pun dipuji karena dinilai lebih mendekati atau mewakili realitas yang dihadapi golongan LGBTQIA+ di dunia nyata.
Puncaknya, ITSAY menerima penghargaan internasional di Seoul International Drama Awards 2021 pada Oktober tahun lalu. ITSAY dinobatkan sebagai International Drama of the Year. Ketika Billkin dan PP menerima penghargaan, pihak penyelenggara menyebut bahwa serial ini memaparkan cerita pendewasaan dari sudut pandang golongan seksualitas minor. Menyiratkan bahwa ITSAY bukanlah serial yang melulu hanya menjual ciuman, seks, atau hal-hal unyu namun abai konteks sebagaimana kebanyakan serial BL di Thailand.
Sementara itu, Heartstopper juga mendapat sambutan hangat. Di situs Rotten Tomatoes, serial coming-of-age tersebut mendapat skor 100 persen. Hearstopper mengisahkan seorang remaja gay, Charlie Spring (Joe Locke) yang bersekolah di SMA khusus laki-laki. Charlie sering di-bully karena orientasi seksualnya dan bahkan seorang perundung telah mengumumkan seksualitasnya ke seisi sekolah tanpa persetujuannya. Perundungan yang terus menerus membuat Charlie tertekan, tertutup, dan sering merasa bersalah kendati dia sudah menerima kenyataan bahwa dia gay.
Di tengah kegalauan Charlie, muncullah Nick Nelson (Kit Connor), cowok yang ditemui Charlie di kelasnya. Berbeda dengan Charlie yang sudah menerima diri sebagai gay (coming in), Nick punya persoalan yang mirip Teh di ITSAY. Nick rupanya masih bingung, apa seksualitasnya. Kedekatan yang intens dengan Charlie membuat Nick galau dan bahkan sampai mencari di Google, apakah dia gay atau biseksual.
Puncaknya, Nick melela ke ibunya, Sarah (Alice Coleman). Respon sang ibu yang berjiwa besar menjadi adegan mengharukan. Menunjukkan bahwa keluarga seharusnya menjadi zona nyaman seseorang dalam menyikapi dan menerima seksualitas. Selain itu, sejumlah guru Charlie di sekolah pun menunjukkan support dan kepedulian. Suatu hal yang dibutuhkan remaja LGBTQIA+ di lingkungan homofobik.
Kondisi mental, pergumulan, support system, dan masalah perundungan yang dihadapi Charlie serta kegamangan dan proses melela Nick juga dipuji oleh sejumlah kritikus dan pengamat. Hearstopper dinilai sebagai serial yang dengan masuk akal memaparkan pengalaman puber remaja LGBTQIA+ . “Cerita romantis yang inklusif disampaikan dengan sensitivitas yang tepat… memesona sehingga penonton tidak akan melewatkan barang sekejap,” demikian bunyi konsensus kritik di Rotten Tomatoes.
Heartstopper juga tidak memuat adegan eksplisit nan vulgar, alkohol, rokok, atau narkotika-hal-hal yang kerap muncul di serial berlatar LGBTQIA+. Bentuk interaksi romantis paling intens hanyalah ciuman yang tidak kelewat vulgar. Sekali lagi, Hearstopper menuai pujian karena ini. “Kebanyakan serial queer hanya berfokus ke orang dewasa, daripada golongan yang lebih muda,” ujar kolumnis Digital Spy David Opie.
Selain karakter gay dan biseksual, Heartstopper juga menampilkan karakter dengan beragam orientasi seksual serta identitas dan ekspresi gender. Misalnya pasangan lesbian Tara dan Darcy (diperankan Corinna Brown dan Kizzy Edgell), remaja transpuan Elle (diperankan oleh transgender Yasmin Finney), dan remaja pria heteroseksual Tao (diperankan William Gao).
Karakter Elle juga menuai pujian. Alih-alih digambarkan sebagai comic relief, karakter transpuan di sini digambarkan sebagai sosok yang juga memiliki pergumulan dan pendewasaan. Yakni, bagaimana dia bisa beradaptasi di sekolah khusus perempuan sebagai transpuan dan membuka diri terhadap pergaulan.
Locke, dalam wawancaranya di majalah GQ, mengaku senang bisa membintangi Heartstopper. Aktor asal Pulau Mann tersebut menilai serial perdananya itu punya cerita yang sangat relate dengan kisah hidup kelompok LGBTQIA+ . “Serial ini memberdayakan banget. Aku ingin audiens queer muda mengetahui bahwa tak masalah jika mereka merayakan identitas diri mereka,” ujar Locke.
Oseman selaku kreator asli pun punya sensitivitas yang baik ketika membuat cerita tentang kelompok LGBTQIA+. Dia banyak meminta masukan dari orang-orang yang paham tentang isu LGBTQIA+ . “Ketika menulis ceritanya, aku mencoba berfokus pada proses healing, pemulihan, dan dukungan dalam sebuah hubungan,” ujar Oseman, yang dulu juga menjadi korban perundungan di sekolah, pada iNews United Kingdom.
Kini, musim kedua dan ketiga Hearstopper sedang digodok. Jika di musim pertama cerita lebih mengulas proses Charlie dan Nick menjalin hubungan, maka musim berikutnya akan memaparkan babak cerita lain. Salah satunya, kondisi kesehatan mental Charlie. Isu yang cukup penting dibahas atau dipaparkan dalam serial queer atau LGBTQIA+ .
Sebenarnya, ada beberapa serial queer atau bahkan BL dengan cerita atau penggambaran karakter LGBTQIA+ yang cukup bagus. Namun, ITSAY dan Hearstopper adalah contoh paling baik menurut saya. Sebab, keduanya dengan cermat, apik, dan sensitif dalam memaparkan cerita proses pendewasaan remaja LGBTQIA+. LGBTQIA+ tak melulu soal seks atau hedonisme, tapi juga pencarian jati diri dan perjuangan tiada henti. (*)
*) Glandy Burnama, Jurnalis Jawa Pos. (Kritik dan saran: [email protected])
Credit: Source link