DENPASAR, BALIPOST.com – Bank Indonesia memproyeksikan pertumbuhan ekonomi positif pada tahun 2021 yaitu 4,5 persen – 5,5 persen. Proyeksi ini tidak akan terwujud jika dua syarat tidak diterapkan. Demikian dikemukakan pengamat ekonomi yang merupakan Direktur Program Pascasarjana Undiknas, Prof. Gede Sri Darma.
Ia mengatakan dua syarat itu yakni penerapan protokol kesehatan (prokes) secara disiplin dan indikator ekonomi lainnya. “Proyeksi boleh saja. Tapi tanpa penerapan prokes, tidak dikendalikan dengan bagus, proyeksi tidak akan berlaku dan tidak akan terwujud,” ujar pengamat ekonomi sekaligus Direktur Program Pascasarjana Undiknas Prof. Gede Sri Darma, belum lama ini.
Menurut Sri Darma, penerapan prokes dari sisi masyarakat yaitu 3M — memakai masker, mencuci tangan, dan memakai masker. Sedangkan prokes dari sisi pemerintah yaitu 3T — tracing, testing, dan treatment.
Jika semua menerapkan prokes, proyeksi tersebut akan benar terwujud. Selain itu juga diiringi perbaikan indikator ekonomi, seperti harga saham, inflasi, kinerja dunia usaha, kinerja sektor keuangan, dan lain-lain. “Dari sisi harga saham, saya melihat telah ada perbaikan dengan naiknya harga-harga saham. Daya beli masyarakat juga membaik yang ditunjukkan dengan inflasi 0,22 persen pada November 2020,” katanya memaparkan.
Sri Darma menambahkan, bisnis pariwisata mulai bergerak dengan dibukanya pariwisata untuk wisatawan domestik. BUMN juga telah menghasilkan laba yang cukup signifikan, dunia usaha bergerak karena permintaan semakin besar.
Hal ini memicu kredit yang diajukan ke lembaga pembiayaan meningkat, sehingga suku bunga 7DRR juga semakin turun yaitu 3,75 persen. Namun ke depan, penurunan suku bunga ditambah dengan teknologi yang semakin maju akan membuat masyarakat beralih dari produk bank ke produk pasar modal seperti saham, reksadana, dan obligasi, karena return-nya lebih cepat. “Masyarakat sudah semakin cerdas, broker akan hilang sehingga masyarakat mudah melakukan kontrol terhadap uang yang diinvestasikan di pasar modal, dan ekonomi akan semakin bergerak menutupi kekurangan atau kepasifan selama sembilan bulan pandemi,” imbuhnya.
Sementara itu, katanya, tantangan eksternal terhadap proyeksi tersebut adalah ketidakpastian akan pergerakan orang di seluruh dunia. Karena Bali masih mengandalkan sektor pariwisata yang bergantung pada pergerakan orang. “Ketika dibatasi, Bali akan sangat terdampak. Tapi sampai kapan, tidak ada yang tahu,” ujarnya.
Sri Darma menambahkan, jika Bali membuka pariwisatanya namun statusnya masih zona merah, maka tidak akan bisa mengundang orang asing untuk datang. Maka, satu-satunya cara untuk mengundang orang asing datang adalah menjadikan Bali zona hijau.
Untuk itu, peran semua pihak diperlukan. “Orang akan mau datang, karena mereka bosan selama sembilan bulan di negaranya. Tapi, negaranya belum tentu memberikan izin keluar atau ke Bali jika status Bali zona merah,” katanya mengingatkan.
Sementara tantangan dari sisi indeks harga barang di Bali setelah 4 – 5 kali mengalami deflasi akan kembali mengalami inflasi. Namun, menurut Sri Darma, tidak akan lama dan melambung terlalu tinggi. Masyarakat akan kembali berproduksi, sehingga ketersediaan barang akan segera tersedia di pasar. Ketersediaannya pun tidak membutuhkan waktu lama. (Citta Maya/balipost)
Credit: Source link