JawaPos.com – Hingga awal November 2022, terdapat 195 anak meninggal dunia akibat gagal ginjal akut. Cemaran zat beracun etilen glikol (EG) dan dietilen Glikol (DEG) dalam obat sirup diduga kuat menjadi penyebab kasus gagal ginjal akut yang menewaskan ratusan anak di Indonesia.
Tim Advokasi Hukum Untuk Kemanusiaan yang diwakili Ulung Permana menilai, saat ini pemerintah dalam hal ini Kementerian Kesehatan dan BPOM justru tampak hanya bekerja mencari kambing hitam tanpa sedikitpun bersedia menanggung tanggung jawab baik secara keperdataan maupun pidana.
Diketahui, sejumlah orangtua yang anak-anaknya menjadi korban bahkan sebagian besar di antaranya meninggal dunia, telah menunjuk Tim Advokasi Untuk Kemanusiaan sebagai pemegang kuasa. Penunjukkan kuasa hukum ini adalah wujud dari keresahan dan kekecewaan para orang tua korban yang anaknya meninggal akibat Gagal Ginjal Akut.
“Kami Tim Advokasi Hukum Untuk Kemanusiaan mengajukan gugatan class action kepada pemerintah demi terpenuhinya keadilan bagi korban,” ujar Ulung dalam keterangan tertulisnya kepada JawaPos.com.
Ulung menilai, negara semestinya bertanggungjawab dan memberikan keadilan dan ganti kerugian yang layak bagi para korban.. Namun, negara rupanya gagal menjamin keselamatan warganya.
“Gugatan ini menjadi penting dilakukan agar sekaligus menjadi peringatan bagi pemerintah dan perusaahaan obat agar tak main-main dengan nyawa manusia,” tegas Ulung.
Karena itu, menurut Ulung, selain Kemenkes dan BPOM, produsen obat dan pemasok bahan juga harus ikut bertanggungjawab. “Itulah mengapa ada 9 (sembilan) pihak yang menjadi tergugat dalam gugatan ini yang terdiri dari unsur pemerintah dan swasta,” imbuhnya.
Pihak swasta harus turut memikul beban kesalahan ini. Sebagai produsen obat, harusnya ada quality check yang dilakukan sebelum obat diedarkan. Kemudian saat sedang beredar, mestinya ada quality control yang juga ketat. Di saat yang sama, pemasok bahan obat juga harus memastikan keamanan bahan yang disediakan serta memenuhi standar mutu serta standar keselamatan bagi konsumen.
Tim kuasa hukum menilai, kejadian hilangnya ratusan nyawa anak tak berdosa ini menunjukkan betapa pemerintah dan perusahaan obat abai atas keselamatan warga.
“Gugatan Class Action ini didasarkan pada penilaian kami bahwa seharusnya peristiwa kelam ini bisa dicegah andai saja Pemerintah dan Swasta benar-benar memiliki itikad baik,” imbuh Ulung.
Hal ini mengingat, peristiwa serupa bukan baru pertama kali ini terjadi di dunia. Tim mencatat setidaknya sejak tahun 1990 telah terjadi peristiwa keracunan zat EG dan DEG yang tersebar di berbagai negara diantaranya Nigeria tahun 1990 (40 anak meninggal), Bangladesh tahun 1990-1992 (339 anak meninggal), Argentina tahun 1992 (29 anak meninggal), Haiti tahun 1995-1996 (109 anak meninggal), Panama tahun 2006 (219 meninggal) dan Nigeria tahun 2008 (84 anak meninggal).
Ironisnya, kata Ulung, meskipun telah ada preseden sejak 30 tahun yang lalu, Pemerintah (Kemenkes dan BPOM) tampak kaget menghadapi peristiwa ini. Bahkan dalam sebuah kesempatan, BPOM justru mencoba lari dari tanggung jawab dan menyatakan ketidaksiapan menghadapi kejadian ini dikarenakan tidak ada standar internasional mengenai pembatasan zat EG DEG.
“Sejumlah dokumen yang kami miliki justru menunjukkan fakta sebaliknya. Hal ini merupakan salah satu yang kami utarakan dalam gugatan class action,” tegasnya.
“Kami menilai banyak sekali anak meninggal dunia akibat obat yang justru diedarkan secara resmi, mengindikasikan adanya masalah dan dugaan permainan di balik ini semua. Demi keuntungan bisnis, keselamatan warga terabaikan. Negara dan perusahaan wajib bertanggungjawab atas masalah ini demi terpenuhinya keadilan bagi korban.”
Credit: Source link