Ilustrasi Hukum
Jakarta – Vonis hakim Pengadilan Negeri Tipikor terhadap mantan Ketua Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN) Syafruddin Arsyad Temenggung (SAT) merupakan salah satu tolak ukur jaminan kepastian hukum di Indonesia.
Ekonom senior Institute for Development of Economics and Finance (Indef), Fadhil Hasan mengatakan, majelis hakim seyogyanya mempertimbangkan aspek-aspek yang lebih luas mengingat kasus ini menjadi perhatian masyarakat, khususnya oleh kalangan dunia usaha.
“Tindakan SAT sebenarnya menjalankan keputusan politik pemerintah yang sedang berusaha keras bisa keluar dari krisis ekonomi. Pemberian SKL tersebut dalam rangka memberikan kepastian hukum bagi pengusaha yang koperatif dan telah memenuhi kewajibannya,” kata Fadhil, kepada wartawan, Jakarta, Kamis (20/9).
Menurutnya, sesuai data Kementrian Keuangan masih banyak obligor Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) yang hingga saat ini tidak koperatif dan sengaja menghindari kewajiban mereka.
Pemegang saham BDNI telah membayar kewajibannya sesuai skema Master of Settlement and Acquisition Agreement (MSAA) pada 1999. Sesuai UU No 25/2000 debitur BLBI yang telah menandatangani dan memenuhi MSAA diberikan jaminan kepastian hukum, yang kemudian disusul Inpres No 2 Tahun 2002 bahwa debitur yang kooperatif akan diberikan kepastian hukum.
Sebelumnya, Chairman InfoBank Institute, Eko B Supriyanto, dalam analisisnya membeberkan sejumlah kejanggalan, yang memperlihatkan kelemahan tuduhan jaksa KPK.
Pertama, masalah audit Badan Pemeriksa Keuangan (BPK). Dalam kerangka penyelesaian masalah BLBI-BDNI tersebut, BPK telah melakukan audit pada 2002 dan 2006. Hasilnya, seluruh kewajiban Sjamsul Nursalim (SN) selaku pemegang saham BDNI sudah dilunasi dan tidak ditemukan masalah.
Laporan Audit Investigatif BPK 2017 diminta oleh KPK setelah SAT ditetapkan sebagai tersangka, hasilnya bertolak belakang dengan dua audit BPK sebelumnya, yaitu terdapat kerugian negara dalam penyelesaian BLBI-BDNI.
Kedua, masalah misrepresentasi. Ahli hukum perdata Prof Nindyo Pramono dalam kesaksiannya menyatakan bahwa dalam suatu perjanjian perdata, termasuk dalam hal ini MSAA, penetapan terjadi misrepresentasi atau tidak, harus melalui keputusan pengadilan.
Karena dalam hukum perdata suatu misrepresentasi tidak boleh dipersangkakan, tetapi harus dibuktikan. “Jalurnya digugat dahulu di perdata, dibuktikan dahulu misrepresentasi atau tidak,” kata Prof Nindyo Pramono.
Ketiga, masalah kerugian negara. Ketika BPPN dibubarkan maka hak tagih beralih ke Kementerian Keuangan. BPPN telah menyerahkan hak tagih atas aset BDNI senilai Rp 4,8T pada 2004, namun kemudian aset tersebut dijual oleh Menteri Keuangan pada 2007 senilai Rp 220 M. Jadi yang menjual aset tersebut bukan SAT ketika menjadi Ketua BPPN, melainkan Menteri Keuangan saat itu.
Keempat, masalah pemidanaan kasus perdata. Pemerintah dan SN sebagai PS BDNI telah terikat perjanjian keperdataan yang dirancang oleh pemerintah sendiri, yaitu MSAA. Sesuai situasi krisis waktu itu (1998), MSAA dirancang dan diterapkan bagi PS bank yang kooperatif dan memiliki aset cukup untuk membayar BLBI.
Kelima, masalah saksi dari petambak. Persidangan kasus SAT ini tidak mendengar kesaksian petambak secara berimbang. Jaksa hanya memanggil saksi-saksi yang bisa memperkuat tuduhan, namun sidang pengadilan ini tidak mendengar saksi para petambak yang diajukan oleh pihak terdakwa.
Keenam, penyelesaian kewajiban diselesaikan dengan MSAA dan disepakati diluar pengadilan (out of court settlement) dan perdata serta sudah di akta notariskan. Plus pemberian SKL secara hukum sudah terpenuhi dengan mengikuti seluruh proses, seperti UU No 25 Tahun 2000 tentang Propenas, Inpres No 8 tahun 2002, Tap MPR X/2001 dan Tap MPR VI/2002. Pemerintah sendiri sudah menyatakan SKL-BDNI tidak bermasalah.
Ketujuh, tidak ada gratifikasi – atau penerimaan uang baik dirinya maupun keluarganya ataupun Operasi Tangkap Tangan (OTT). Tidak dituduhkan menerima gratifikasi.
TAGS : Kasus BLBI KPK Gajah Tunggal Sjamsul Nursalim
This article is automatically posted by WP-AutoPost Plugin
Source URL:http://www.jurnas.com/artikel/41073/Vonis-Hakim-Terhadap-SAT-Tolak-Ukur-Kepastian-Hukum/