JawaPos.com – Jaksa Agung Republik Indonesia ST Burhanuddin mewacanakan hukuman mati terhadap pelaku tindak pidana korupai. Opsi ini disampaikan Burhanuddin dalam briefing kepada Kajati, Wakajati, para Kajari dan Kacabjari dalam rangka kunjungan kerja di Kejaksaan Tinggi Kalimantan Tengah, Kamis (28/10) lalu.
Terkait wacana hukuman mati koruptor Pakar Hukum Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU) Yenti Garnasih mengatakan, pidana mati menurutnya bukanlah kewenangan jaksa agung. Kejaksaan hanya bisa melakukan penuntutan, namun yang memutuskan adalah majelis hakim.
“Kalau pidana mati itu kan urusannya bukan di jaksa agung, urusannya di hakimnya. Jaksa hanya menuntut kan, tapi apakah nanti bisa dilaksanakan atau tidak, atau dijatuhkan atau tidak itu tergantung hakim,” kata Yenti dalam keterangannya, Senin (1/11).
Menurutnya, pidana mati memiliki sejumlah risiko yang harus diperhitungkan secara matang. Dia mengutarakan, sebaiknya aparat penegak hukum bisa mempertimbangkan apabila uang para koruptor itu di luar negeri, guna memulangkan kekayaan tersebut
“Misalnya Indonesia menerapkan hukuman mati bagi pelaku korupsi, harta kekayaannya ada di Malaysia atau Singapura yang juga menerapkan hukuman mati sebagaimana beberapa negara yang juga demikian, kita minta bantuan ke sana itu oke saja,” papar Yenti.
“Tapi kalau kita menerapkan pidana mati dan harta kekayaan yang disita ini belum selesai proses perampasannya dan kita minta tolong ke negara yang tidak menganut pidana mati biasanya ditolak. Karena nggak bisa, kan negara saya dan negara anda berbeda prinsip karena kami tidak lagi menganut pidana mati, namun negara anda menganut pidana mati’,” imbuhnya.
Seharusnya kasus korupsi tidak hanya pada tindak pidananya saja, namun juga terkait erat dengan penyitaan aset hasil dari tindak pidana korupsinya seoptimal mungkin. Namun, jaksa juga harus cermat dalam melakukan penyitaan atau perampasan, sehingga tidak ada pihak lain yang dirugikan.
“Harus dikaitkan juga dengan proses penyitaannya, karena kan kemarin ada pihak ketiga yang beritikad baik dimenangkan gugatannya. Jadi sebaiknya proses penyitaannya harus disampaikan secara transparan kepada masyarakat, bagaimana sebetulnya gitu loh,” ungkap Yenti.
Dia tidak menginginkan aset penyitaan seperti sengketa Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI). Aset penyitaan harus hati-hati dan menyasar dengan tepat.
“Jangan seperti BLBI toh, yang penyitaan berapa hektar ini loh, tapi ternyata status tanahnya berbeda. Satgas BLBI dengan bangganya bilang ini itu, iya tau, tapi status tanahnya itu tanah apa? Kalau status tanahnya tanah garapan itu jelas dagelan! Menyita tanah tapi ternyata punya pemerintah sendiri. Kita harus mengedukasi masyarakat, mereka tidak tahu terus masih dibohongi. Itu kan nggak boleh juga, nggak bagus lah. Jadi semuanya harus trasparan,” pungkasnya.
Editor : Bintang Pradewo
Reporter : Muhammad Ridwan
Credit: Source link