Zero Accident yang Semakin Membuat Celaka

by

in

ZERO accident adalah salah satu indikator penilaian bagi perusahaan dalam penghargaan kecelakaan nihil (zero accident). Penghargaan yang telah berumur lebih dari 20 tahun ini justru membuat angka kecelakaan setiap tahun semakin tinggi. Berdasar laporan Dit Bina Kelembagaan K3 Ditjen Binawasnaker dan K3 Kemenaker RI tahun 2022, perusahaan yang mendapatkan penghargaan zero accident setiap tahun semakin meningkat. Pada 2012, yang menerima penghargaan zero accident ada 739 perusahaan. Lima tahun kemudian atau pada 2017, penghargaan tersebut diterima 901 perusahaan. Sementara pada 2022 yang menerima penghargaan 1.742 perusahaan.

Kenaikan jumlah perusahaan yang mendapat penghargaan zero accident itu tidak seiring dengan naiknya angka kecelakaan kerja dan penyakit akibat kerja. Berdasar laporan tahunan BPJS Ketenagakerjaan, jumlah pekerja yang mengalami kecelakaan kerja dan penyakit akibat kerja meningkat dalam tiga tahun terakhir. Pada 2019 sebanyak 210.789 tenaga kerja, pada 2020 ada 221.740 tenaga kerja, dan pada 2021 sebanyak 234.370 tenaga kerja.

Data tersebut adalah sebuah ironi. Seharusnya zero accident yang semakin naik diikuti dengan semakin menurunnya angka kecelakaan kerja. Mengapa angka kecelakaan kerja dan penyakit akibat kerja semakin meningkat, sedangkan perusahaan yang mendapat zero accident semakin meningkat pula?

Visi dan Kejadian Kecelakaan

Zero accident atau kecelakaan nihil yang menjadi acuan penghargaan bagi perusahaan sebenarnya merupakan visi negatif perusahaan. Visi zero accident berupa tulisan yang dipampangkan lewat banner atau spanduk di berbagai sudut ruangan di perusahaan terus dibaca. Ketika setiap waktu dibaca, dilihat, lama-lama menjadi doa. Pikiran pun bereaksi terhadap kata accident atau kecelakaan itu.

Lama-lama kecelakaan tersebut terus-menerus mengiang-ngiang dalam pikiran pekerja dan merasuk dalam perasaan membentuk mental model kecelakaan bagi para pekerja. Ketika sudah terdapat mental model kecelakaan pada diri pekerja, maka tenaga kerja akan terdorong masuk ke dalam sistem yang membuat kecelakaan (unsafe condition) sehingga tenaga kerja memiliki perilaku tidak aman (unsafe action). Dalam kondisi unsafe action dan unsafe condition inilah terjadi kontak antara tubuh pekerja dengan energi sehingga terjadilah kejadian kecelakaan.

Dengan demikian, kejadian kecelakaan berawal dari visi kecelakaan. Ini dikatakan visi sebagai pengungkit utama kejadian, di mana visi kecelakaan merupakan pengungkit utama kejadian kecelakaan. Ini digambarkan dalam bentuk piramida kecelakaan dengan lima tingkat piramida. Yakni, tingkat pertama berupa visi, tingkat kedua berupa mental model, tingkat ketiga berupa struktur sistem, tingkat keempat berupa perilaku, dan tingkat kelima berupa kejadian.

Kerugian material juga semakin tinggi setiap tahun. Berdasar laporan BPJS, biaya kompensasi yang dikeluarkan oleh BPJS Ketenagakerjaan akibat kecelakaan dan tenaga kerja yang meninggal tahun 2019 adalah Rp 1,58 triliun, tahun 2020 sebesar Rp 1,56 triliun, dan tahun 2022 sebesar Rp 1,79 triliun. Selama visi kecelakaan terus mengiang-ngiang dalam benak pekerja dan membentuk mental model kecelakaan, maka kecelakaan akan terus meningkat dan kerugian dari perusahaan juga terus meningkat.

Budaya Kecelakaan

Ketika visi kecelakaan terus berlangsung dan kejadian kecelakaan semakin meningkat, lama-lama terjadilah budaya kecelakaan. Budaya kecelakaan berarti sudah terjadi internalisasi kecelakaan dalam diri pekerja. Sehingga kecelakaan dianggap sebagai sesuatu yang biasa. Untuk menghadapi masalah itu, disiapkanlah sistem manajemen pengendalian kecelakaan kerja dengan menggunakan input berupa teknologi pengendalian kecelakaan kerja, teknologi pencegahan kecelakaan kerja.

Namun, semuanya sia-sia. Karena mental model pekerja sudah menjadi mental model kecelakaan.

Budaya kecelakaan di atas kontradiksi dengan tema bulan K3 tahun 2023 ini, yaitu ’’Wujudkan Pekerjaan Layak dengan Budaya K3 untuk Mendukung Kelangsungan Usaha di Setiap Tempat Kerja”. Dalam pikiran yang diinginkan oleh pengelola K3 di negeri ini adalah budaya K3, tetapi kenyataannya yang muncul adalah budaya kecelakaan. Sehingga, tema bulan K3 itu hanya slogan belaka, tidak menyentuh akar permasalahan K3 di Indonesia.

Visi Selamat Menuju Budaya Selamat

Yang harus dikembangkan dalam pengendalian kecelakaan adalah visi selamat. Visi selamat dimunculkan dalam spanduk atau banner di setiap sudut ruang di perusahaan. Ketika visi selamat itu dilihat secara terus-menerus dan terus-menerus dibaca, maka akan menjadi mental model selamat bagi pekerja. Visi selamat adalah doa, seperti halnya dalam ucapan salam kepada sesama muslim, ucapan salam ke kanan dan ke kiri setiap akhir dari salat.

Ketika ucapan selamat itu dilakukan secara terus-menerus, dibaca secara terus-menerus, maka akan membentuk mental model selamat. Mental model selamat akan menggiring pekerja menuju struktur sistem selamat sehingga pekerja akan memiliki perilaku selamat dan kejadian selamat.

Indikator perusahaan bukan lagi zero accident, melainkan kenaikan angka keselamatan pekerja. Lama kelamaan akan terbentuk budaya selamat pada pekerja. Dengan begitu, angka kecelakaan akan berkurang. Dan, perusahaan semakin maju dan produktif.


*) ABDUL ROHIM TUALEKA, Ketua Departemen Kesehatan dan Keselamatan Kerja FKM Universitas Airlangga, penulis buku Pengungkit K3 Menuju Masyarakat Berbudaya K3


Credit: Source link