Masih Perlukah Bibit Bebet Bobot saat Cari Jodoh? Ini Jawabannya

Masih Perlukah Bibit Bebet Bobot saat Cari Jodoh? Ini Jawabannya

JawaPos.com – Nasihat para orang tua zaman dulu, saat mencari pasangan hidup harus mempertimbangan bibit, bebet, dan bobot. Tujuannya, karena menikah adalah sakral dan sekali seumur hidup.

Dalam kampanye #SpeakUpFor Love oleh Closeup dari PT Unilever Indonesia, Tbk, filosofi 3B itu ternyata masih menjadi tiga kriteria yang turun-temurun dipergunakan keluarga dalam menentukan calon pasangan hidup yang terbaik bagi anak mereka. Pemahaman lama mengenai filosofi ini tidak jarang mengakibatkan banyak pasangan utamanya mereka yang menjalin hubungan yang unconventional karena perbedaan mencolok seperti beda usia, latar belakang ekonomi, atau suku dan ras terpaksa mengakhiri hubungan. Mereka merasa tidak mampu memenuhi harapan dari keluarga maupun lingkungan.

“Melihat hal ini, kami melakukan studi yang memperlihatkan bahwa kriteria generasi muda dalam memilih pasangan telah mengalami pergeseran. Mereka lebih mendambakan chemistry secara interpersonal, pemikiran yang luas, dan visi yang sejalan. Usia yang sepantar, latar belakang ekonomi, dan persamaan suku atau ras kini kurang diprioritaskan. Melalui kampanye #SpeakUpforLove kami ingin mengangkat makna lebih fresh dari filosofi 3B, yang sesungguhnya dapat bertransformasi menjadi ‘Berbeda Bertumbuh Bersama’,” katanya kepada wartawan baru-baru ini.

Masih Perlukah di Era Modern?

Psikolog Klinis dan Peneliti Relasi Interpersonal Pingkan Rumondor menilai bibit, bebet, bobot adalah sebagai asal usul, latar belakang ekonomi keluarga, serta pendidikan dan keahlian calon pasangan. Hal itu sesuai dengan tujuan pernikahan di zaman dulu, yaitu untuk mengamankan harta, tanah, dan kedudukan.

Ketika itu, cinta tidak termasuk dalam kriteria yang dianggap penting. Kehidupan seseorang bergantung pada status yang dibawa sejak lahir, bukan diperoleh dengan kerja keras dan keterampilan. Hal ini berevolusi seiring perubahan zaman.

“Seiring berkembangnya zaman, kaum dewasa muda kini punya kesempatan untuk menyampaikan perspektif tentang pasangan pilihan, sehingga diperlukan penyelerasan pandangan antara pasangan, keluarga, dan masyarakat,” kata Pingkan.

“Bagaimanapun, pandangan masyarakat memang menjadi penting karena turut membentuk pendapat pasangan dan keluarga mengenai pemilihan pasangan hidup,” lanjutnya.

Hasil Penelitian

Studi kuantitatif dan kualitatif yang dilakukan Closeup melibatkan lebih dari 160 responden dari berbagai wilayah Indonesia. Responden terdiri dari mereka yang sedang menjalani hubungan unconventional, orang tua, hingga individu yang masih single.

Hasilnya memperlihatkan bahwa penilaian dari lingkungan masih menghambat kelanjutan hubungan yang unconventional, sehingga 5 dari 10 orang yang menjalani hubungan tersebut jadi meragukan masa depan hubungannya. Terkait filosofi 3B, ditemukan bahwa di semua kelompok responden hampir seluruhnya setuju bahwa pedoman ini pada dasarnya masih baik untuk diterapkan. Namun, hanya 2 dari 10 orang merasa bahwa definisi 3B yang sekarang berlaku masih relevan.

Akhirnya, studi ini menunjukkan bahwa 5 dari 10 orang menginginkan makna yang lebih fresh dari filosofi 3B, yang terangkum sebagai:

Editor : Estu Suryowati

Reporter : Marieska Harya Virdhani


Credit: Source link

Related Articles