Arah Kebijakan OJK pada 2023 agar Bank Efisien

JawaPos.com – Kinerja perbankan selama 2022 dengan begitu banyak tantangan tampaknya masih terjaga. Bahkan beberapa indikator keuangan menunjukkan kemajuan yang sangat luar biasa. Salah satunya, fungsi intermediasi perbankan yang tumbuh 11,16 persen secara year-on-year (YoY).

Kepala Eksekutif Pengawas Perbankan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) Dian Ediana Rae menyatakan, penghimpunan dana pihak ketiga sudah mencapai 8,78 persen. Rasio keuangan lainnya seperti rasio kecukupan modal alias capital adequacy ratio (CAR) sebesar 25,49 persen. Sedangkan beban operasional terhadap pendapatan operasional (BOPO) turun menjadi 77,51 persen dengan return of asset (ROA) menjadi 2,47 persen.

“Tingkat pertumbuhan kredit dan DPK telah melebihi level prapandemi Covid-19 dengan indikator risiko perbankan yang terjaga,” paparnya dalam webinar Tren Perbankan di 2023 oleh OJK Institute, Selasa (17/1).

Perkembangan perbankan yang baik juga tecermin dari kondisi likuiditas yang ample. Tecermin dari rasio alat likuid/non-core deposit (AL/NCD) dan alat likuid/DPK (AL/DPK) masing-masing sebesar 134,97 persen dan 30,42 persen.

Rasio likuiditas tersebut masih jauh di atas threshold, walaupun lebih rendah dari periode tahun lalu. Sebagai dampak akselerasi penyaluran kredit dan kebijakan kenaikan rasio giro wajib minimum GWM.

Risiko kredit juga cenderung menurun. Terlihat dari rasio kredit bermasalah alias non-performing loan (NPL) gross dan net yang masing-masing di level 2,65 persen dan 0,75 persen. Sedangkan, loan at risk (LAR) sebesar 15,12 persen.

“Melihat berbagai indikator tadi, tampaknya perbankan memiliki bekal yang cukup untuk menghadapi yang akan terjadi di 2023. Dari berbagai rencana bisnis bank yang dianalisis OJK menunjukkan rasa optimisme masih dimiliki oleh bank-bank di Indonesia,” kata Dian.

Meski demikian, perbankan harus mencermati risiko di tengah ketidakpastian global. Seperti, inflasi, fluktuasi harga komoditas di berbagai dunia, dan kebijakan bank sentral dunia untuk mengendalikan inflasi yang berdampak cukup signifikan.

“Tetapi bisa dikatakan bahwa sampai saat ini dampaknya tidak terlalu mengkhawatirkan. Bisa dikatakan bahwa Indonesia sebagai negara yang outlayer. Yakni, mempunyai extraordinary performance,” imbuhnya.

Dian menjelaskan, langkah mitigasi peningkatan risiko eksternal terhadap stabilitas sektor jasa keuangan. OJK tetap mempertahankan beberapa kebijakan terkait menjaga volatilitas pasar.

Tentu dengan mempertimbangkan kondisi perekonomian yang masih berpotensi menekan kinerja pasar modal domestik. Pihaknya juga meminta agar lembaga jasa keuangan untuk menjaga ketahanan permodalan dan tingkat likuiditas yang memadai. Sehingga mampu mengantisipasi ketidakpastian ekonomi di masa yang akan datang.

“Antara lain dengan kebijakan optimalisasi pembagian dividen dan peningkatan pencadangan termasuk terhadap sektor-sektor yang kebijakan relaksasinya berakhir pada Maret 2023,” sebutnya.

Dalam kesempatan itu, Direktur Utama BRI Sunarso meyakini bahwa laporan keuangan perbankan nasional 2022 mencerminkan bahwa telah dilewati dengan sangat solid dan kinerja yang impresif. Sejalan dengan supporting factor seperti peningkatan aktivitas bisnis dan ekonomi. Sejalan dengan pengendalian Covid-19 yang membaik. Meskipun belum sepenuhnya keluar dari pandemi.

Kemudian, harga komoditas yang sempat melonjak tinggi, kini mengalami penurunan. Meski begitu, Sunarso menilai tantangan eksternal masih akan membuat harga komoditas relatif tinggi.

“Bagi Indonesia sebenarnya itu baik. Karena kita banyak menjual komoditas itu,” ungkapnya.

Kemudian, rating investasi Indonesia yang stabil dan positif ini baik. Ditambah perpanjangan relaksasi kredit terdampak Covid-19 tertentu oleh OJK. Sebab, masih ada sejumlah bank, sektor, maupun daerah yang harus memanfaatkan perpanjangan restrukturisasi itu.

Di sisi lain, potensi resesi di Amerika Serikat (AS) dan perlambatan ekonomi global menjadi tantangan di tahun ini. Lalu, tensi geopolitik Rusia dan Ukraina serta disrupsi rantai pasok. Tekanan inflasi yang masih tinggi juga ditanggapi dengan kenaikkan suku bunga bank sentral sejumlah negara di dunia.

“Beberapa negara juga berpeluang mengalami resesi itu lebih tinggi. Alhamdulillah peluang Indonesia untuk resesi itu cuma 3 persen,” terang Sunarso.

Makanya, dia memformulasi mitigasi risiko dan strategic response menghadapi kenaikan inflasi, suku bunga, serta perlambatan ekonomi menjadi empat skenario. Pertama, jika ekonomi pulih, tapi inflasi naik dan kualitas pinjaman memburuk.

Maka yang dilakukan perbankan adalah mempercepat proses write-off untuk memperoleh recovery rate yang lebih tinggi. Lalu mempertahankan coverage ratio yang lebih tinggi.

“Bahwa perbankan rata-rata masih menumpuk cadangan untuk mengantisipasi penurunan kualitas asetnya. Sehingga bantalannya dipertebal agar tidak hard landing jika terjadi perburukan,” urainya.

Kemudian, tumbuh selektif dengan melakukan enhancement credit risk model dan mengatur loan portofolio guideline (LPG) moderate. Setelah melakukan monitoring kualitas pinjaman secara intensif.

Nah, jika ekonomi mulai pulih dengan inflasi terkendali, dan kualitas pinjaman membaik. Strateginya yakni, masih tetap mempercepat proses write-off untuk memperoleh recovery rate yang lebih tinggi. Namun, boleh menurunkan coverage ratio. Karena situasinya sudah baik semua.

Dan kemudian melakukan enhancement terhadap risk based pricing model untuk meningkatkan daya saing produk. Dengan LPG dibuat lebih longgar sebagai strategi pertumbuhan yang lebih agresif.

Untuk kondisi ekonomi stagnan, inflasi naik ditambah kualitas pinjaman memburuk ini adalah the worst scenario. Yang bisa kita lakukan adalah tumbuh terbatas dengan pengaturan LPG yang sangat ketat.

Dan mempertahankan coverage ratio di level yang lebih tinggi. Kemudian memonitor kualitas kredit secara intensif, melakukan simulasi, dan stress test secara periodik berkesinambungan.

“Jika ekonomi stagnan, tapi inflasi terkendali dan kualitas pinjaman membaik maka tumbuh tetap selektif. LPG moderate, mempertahankan coverage ratio yang tinggi, dan tetap memonitor kualitas kredit secara intensif, simulasi, serta stress test secara periodik berkesinambungan,” terangnya.

Menurut dia, ada enam faktor utama yang memengaruhi tren industri perbankan pada 2023. Yakni, bonus demografi penduduk, perubahan perilaku nasabah, dan implementasi ESG. Lalu, low interest rate environment yang akan masih berlanjut, utilisasi data dan teknologi, serta kompetisi dengan fintech.

Sunarso menjelaskan, tren penurunan credit yield berdampak pada net interest margin (NIM) bank akan semakin tertekan. Pada 2010 minus 10 persen dan pada 2022 minus 6 persen. Sebagai akibat dari kecenderungan inflasi direspon dengan kenaikan suku bunga bank sentral.

“Sedangkan perbankan tidak serta merta menaikkan suku bunga kredit. Karena kalau dinaikkan nanti ada ancaman baru. Yakni NPL,” bebernya.

Dari bank digital, Direktur Utama Seabank Indonesia Sasmaya Tuhuleley menyebut, akan makin banyak inovasi produk bank yang sepenuhnya digital form end to end. Pengembangan aplikasi layanan baru juga akan lebih cost under centric.

“Dengan begitu bank digital dengan kapasitas big data dan manajemen risiko yang baik akan melakukan direct lending ke masyarakat,” ucapnya.

Mengingat, kerja sama bank digital dengan outlet ritel makin penting dan gencar. Sehingga, akan mengakselerasi perekonokian nasional yang inklusif. Mengingat, bank digital dapat menjangkau lebih efektif kelompok unbankable di pelosok-pelosok tanah air.

“Luasnya geografi Indonesia akan sulit bagi bank-bank konvensional untuk membangun physical branches ke daerah-daerah. Hadirnya bank digital akan membantu perbankan yang kesulitan dalam menjangkau masyarakat di daerah,” katanya.

Arah Kebijakan OJK 2023
-penguatan organisasi, SDM, dan proses pengawasan didukung supervisory technology dan eraly warning system
-penguatan pengawasan dan perizinan yang terintegrasi
-pemenuhan batas minimum modal inti bank sesuai POJK Konsolidasi
-penguatan dan konsolidasi bank bagi bank umum konvensional, bank umum syariah, dan BPR/BPRS
-normalisasi kebijakan pasca berakhirnya stimulus Covid-19
-penguatan tata kelola dan efisiensi bank
-inovasi produk, pendalaman pasar sistem keuangan, dan digitalisasi bank
-pengkajian struktur pasar keuangan perbankan dan economic need test
-penguatan integrasi industri jasa keuangan melalui strategi anti fraud dan APU PPT
-pengembangan sustainable finance

Sumber: OJK


Credit: Source link