JawaPos.com – Rancangan Undang-Undang tentang Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (RUU APBN) Tahun Anggaran 2023 telah disetujui DPR. Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati menuturkan, APBN 2023 disusun dalam kondisi ketidakpastian yang cukup tinggi akibat krisis geopolitik dan gejolak perekonomian lainnya.
“Tantangan gejolak ekonomi dunia sungguh nyata. Hal itu bisa kita lihat dan rasakan, bahkan pada proses pembahasan RAPBN 2023 kali ini,” tutur Menkeu.
Dia menjelaskan, sejak pemerintah dan dewan membahas kerangka ekonomi makro dan pokok-pokok kebijakan fiskal (KEM PPKF) mulai bulan April hingga pengambilan keputusan, seluruh pihak telah menyaksikan berbagai indikator ekonomi yang menjadi dasar penyusunan RAPBN 2023 terus bergerak dinamis. “Bahkan cenderung bergejolak dengan volatilitas yang tinggi,” imbuhnya.
Contohnya, minyak sawit atau CPO yang mengalami penurunan dari yang sebelumnya naik luar biasa tajam. Selain itu, dari sisi mata uang, beberapa negara mengalami penurunan dengan volatilitas tinggi. Menkeu menyebutkan, selama periode 2022, nilai tukar beberapa mata uang terhadap dolar AS mengalami koreksi yang sangat tajam.
Dia memerinci, yen Jepang mengalami depresiasi hingga 25,8 persen; renminbi Tiongkok terdepresiasi 12,9 persen; dan lira Turki 38,6 persen. Penurunan nilai juga dialami mata uang negara-negara Asia Tenggara. Di antaranya, ringgit Malaysia 10,7 persen; baht Thailand 14,1 persen; dan peso Filipina 15,7 persen.
“’Dalam periode yang sama, nilai tukar rupiah mengalami depresiasi sebesar 6,1 persen. Jauh lebih rendah dari berbagai mata uang yang kami sebutkan tadi,” terangnya.
Sementara itu, indikator inflasi juga menunjukkan gejolak pada perekonomian. Menkeu mengatakan, inflasi negara maju yang sebelumnya selalu berada pada single-digit, atau bahkan sangat rendah mendekati nol persen, kini melonjak hingga mencapai double-digit.
“Inflasi yang sangat tinggi ini mendorong respons kebijakan moneter, terutama di Amerika Serikat, Inggris, dan Eropa. Bank sentral negara-negara itu dengan agresif menaikkan suku bunga yang mengakibatkan gejolak di sektor keuangan dan terjadinya arus modal keluar atau capital outflow dari negara-negara emerging di seluruh dunia,” jelas Menkeu.
Dia menyebutkan, capital outflow dari negara emerging mencapai USD 9,9 billion atau setara Rp 148,1 triliun year-to-date. Bahkan, The Fed turut menaikkan suku bunga acuan sejak awal tahun mencapai 300 basis poin lebih tinggi.
Kenaikan suku bunga di negara maju akan memicu kenaikan cost of fund dan pengetatan likuiditas yang harus diwaspadai secara hati-hati oleh Indonesia. “Kami menyampaikan gambaran gejolak ekonomi global saat ini tidak untuk membuat kita khawatir dan gentar,” katanya.
Namun, tambah Ani, untuk memberikan pemahaman bahwa gejolak perekonomian 2022 maupun tahun depan harus dapat diantisipasi dan dikelola dengan hati hati.
“APBN 2023 yang baru saja disetujui tentu terus diharapkan menjadi instrumen yang andal dan efektif dalam menjaga perekonomian Indonesia. Namun, APBN kita jelas akan terus diuji dengan berbagai gejolak yang tidak mudah dan belum mereda,” papar Menkeu.
Credit: Source link