Setiap orang tua menginginkan yang terbaik untuk buah hatinya. Namun, terkadang keinginan itu justru melukai perasaan anak. Ekspektasi yang terlalu tinggi, keputusan sepihak, hingga protektif berlebihan. Ingat, Bun, jangan abaikan hak anak. Berikan cinta, bukan racun.
—
POLA pengasuhan menentukan karakter anak ketika dewasa. Anak yang tumbuh di lingkungan keluarga yang positif dan suportif akan lebih dewasa, mandiri, ceria, dan mampu mengendalikan emosinya. Sebaliknya, anak dengan pengasuhan toxic terbiasa melakukan sesuatu sesuai permintaan orang tua.
’’Mereka tumbuh menjadi sosok yang kehilangan jati diri. Anak-anak tersebut tidak terpenuhi kebutuhan psikologisnya, secara emosional terabaikan. Akibatnya, mereka menjadi tidak mencintai diri mereka sendiri,’’ tutur psikolog Chandrania Fastari MPsi.
Dosen fakultas psikologi itu menyatakan, orang tua toxic tidak matang secara emosional. Mereka memperlakukan anak bukan sebagai individu yang utuh dan justru bersikap abusive. Baik secara fisik maupun psikis seperti menghina dan mengancam.
’’Perilaku ini tidak dilakukan sesekali saja, tetapi membentuk suatu pola pengasuhan yang toxic. Harga diri anak jadi teracuni sehingga sulit berkembang secara sehat,” imbuhnya.
Tidak sedikit bahkan yang merasa berhak melakukan kekerasan verbal kepada anak karena sudah memenuhi semua kebutuhannya. Padahal, perilaku tersebut sudah membentuk pola toxic. Ortu memberikan semua yang dibutuhkan anak, lantas merasa memiliki kuasa untuk mengendalikan dan bebas bertindak. ’’Anak yang dibesarkan oleh toxic parents tidak mengerti bahwa selama ini dia ’mengonsumsi toksin’ dalam kehidupannya,’’ ujar Chandrania.
Ketika anak itu sadar ada yang tidak beres, lanjut dia, tidak mungkin mereka melawan orang tuanya. Sebab, pola pengasuhan berjalan sejak lama. Berdiam diri pun tidak menguntungkan si anak. Menurut Chandrania, cara terbaik adalah mencari pertolongan. ’’Misalnya, jika dia seorang siswa, bisa berbicara dengan wali kelas atau guru BK. Atau, cari bantuan profesional ke psikolog/psikiater,’’ tambahnya.
Begitu pula dengan pihak orang tua. Sebagian di antara mereka tidak menyadari jika telah berlaku toxic. Terkadang, niat awalnya baik demi mempersiapkan masa depan anak. Namun, cara mengimplementasikannya kurang tepat. Alhasil, terjadi pemaksaan kehendak tanpa melihat keinginan anak.
’’Anak adalah individu yang utuh dan kelak menjalani kehidupannya sendiri. Dia memiliki hak-hak yang harus dihormati, termasuk penghargaan terhadap apa pun yang ada pada dirinya. Salah satunya, minat/kesukaan di bidang tertentu,’’ ungkap psikolog di Lembaga Psikologi Insania Indonesia tersebut.
Karena itu, ortu perlu berdiskusi terlebih dulu apabila ingin mengarahkan anak. Dengan begitu, mereka akan merasa dihargai dan didengarkan. Sebagaimana keleluasaan yang diberikan Sesilia Ugeroka kepada ketiga putrinya. Mulai pilihan jurusan hingga cita-cita yang diinginkan.
’’Pilihan jurusan mereka memilih sendiri sesuai keinginan dan kemampuan. Kami hanya mendukung dan mendoakan. Biar mereka yang mengejar cita-cita mereka. Sambil bantu memberikan pandangan untuk selalu berpikir positif dan melakukan segala sesuatu dengan jujur,’’ ujarnya.
Awalnya, dia sempat menuntut agar mengikuti kemauannya. Namun, dia sadar, kemauannya tidak sama dengan kemauan putrinya. Dalam hal nilai pun, Sesilia tidak pernah menuntut hasil yang baik. Dia lebih mengutamakan usaha sang anak. ’’Nilai baik, tapi bukan usaha sendiri, sama saja bohong karena hasilnya tidak murni, hanya untuk menyenangkan hati orang tua. Gagal itu kan hal yang biasa agar bisa bangkit,” imbuh Sesilia.
Chandrania menambahkan pentingnya pola pengasuhan yang sehat. Ortu yang telanjur mengembangkan toxic parenting harus segera mengubahnya. Dimulai dari memupuk tekad yang kuat untuk mendampingi anak dengan cinta terbaik. ’’Perlakukan anak dengan cara yang manusiawi. Dengarkan dengan tulus dan efektif, berbicara tanpa agresif. Jika dirasa sulit, ortu sebaiknya mencari bantuan profesional,’’ pesannya.
Tentu, tidak mudah mengubah pola pengasuhan begitu saja. Namun, jika toxic parenting terus berlanjut, dampaknya dapat membahayakan anak. Baik itu secara fisik maupun psikis. Apalagi untuk usia remaja yang rentan melukai diri sendiri.
’’Kasus nyata yang pernah saya tangani, anak jadi suka melakukan self-harm di masa remajanya. Hal itu menjadi akumulasi dari ketidaknyamanannya di rumah yang dibesarkan dengan toxic parenting,’’ tandas Chandrania.
DO’S AND DON’TS ORTU DALAM PENGASUHAN
Do’s
• Memberikan pujian atas usaha yang sudah dilakukan dan capaian anak
• Bersikap hangat dan penuh kasih sayang
• Aktif berkomunikasi dan saling terbuka
• Menciptakan lingkungan yang positif dengan mendukung minat bakat anak
• Memenuhi kebutuhan anak
• Meminta maaf jika melakukan kesalahan
Don’ts
• Membandingkan anak dengan anak lain
• Menyerang secara fisik dan psikis
• Bersikap otoriter, yakni mengontrol, menuntut, dan memaksakan kehendak
• Mengabaikan perasaan dan kebutuhan anak
• Memanipulasi dan membuat anak merasa bersalah atau playing victim
• Iri dan merasa tersaingi oleh anak
Credit: Source link