Initial success or total failure. Tidak ada kesalahan sekecil apa pun yang boleh dilakukan karena urusannya dengan nyawa. Letda Tek Elsa Putri Hardiyanti STr (Han) memastikan segala misi berjalan aman dan lancar. Bukannya menjadi pemicu bahaya yang mengancam nyawa.
—
DALAM film The Hurt Locker, Sersan Satu William James adalah pemimpin unit Explosive Ordnance Disposal (Pemusnahan Bahan Peledak) atau EOD Tentara Amerika Serikat di Perang Iraq. Tugasnya satu: memastikan bom atau munisi –baik berupa bom rakitan, bungkusan mencurigakan, maupun ranjau musuh– diledakkan dengan aman. Tiap kali bertugas, dia dilengkapi dengan EOD suit yang bobotnya mencapai 35 kg bahkan lebih agar tubuh dan organ vitalnya terlindung.
Tugas serupa Sersan Satu William James itu ada dan nyata di Indonesia. Salah satunya diemban Letda Tek Elsa Putri Hardiyanti STr (Han). Dia menjadi satu-satunya tentara perempuan di tanah air yang memiliki kualifikasi EOD dari Naval School of Explosive Ordnance Disposal atau NAVSCOLEOD, Amerika Serikat. Dia menjadi satu di antara dua tentara yang masih aktif berdinas yang berstatus EOD Warrior, sebutan teknisi EOD Amerika Serikat.
Elsa mengakui, pendidikan selama 10 bulan di sana adalah yang terberat yang pernah dilaluinya. ”Buat tentara Amerika Serikat saja, NAVSCOLEOD itu susah. Rate of failure-nya tinggi banget,” ungkap perempuan yang kini bertugas sebagai kepala unit demolisi di Satuan Pemeliharaan (Sathar) 64 Depohar 60, Madiun, itu. Bahkan, laman resmi Tentara Amerika Serikat mengklaim, tingkat dropout kursus EOD mencapai lebih dari 50 persen.
Bagi siswa internasional atau berstatus non-warga negara Amerika Serikat, pelatihan itu pun jauh lebih kejam. ’’Kalau nggak lulus, pulang,” imbuh Elsa ketika diwawancarai di lobi Depohar 60, Madiun, pada Jumat (1/7).
Reputasi negara si peserta didik yang gagal pun bakal menjadi sorotan NAVSCOLEOD. Namun, dia berhasil menaklukkan pendidikan terberat itu. Angkatannya terbilang sukses besar. Total, 13 siswa dari 12 negara lulus. Elsa bahkan berhasil ada di peringkat kedua.
Tentara yang bertugas di Depohar 60 tersebut menceritakan, masa pendidikan selama nyaris setahun itu membuka matanya. Perkembangan persenjataan dunia sangat cepat. ”Tahun pendaftaran saya cuma selisih dua tahun dari senior saya yang dikirim ke NAVSCOLEOD, tapi banyak hal baru yang saya pelajari di sana,” lanjutnya.
Dia mengungkapkan, keberadaan unit EOD di tanah air harus ditingkatkan. Pemilik sertifikasi EOD dari NAVSCOLEOD pun masih sangat minim. Sehingga, diperlukan regenerasi terus menerus agar Indonesia selalu mendapat ilmu update. Padahal, Elsa menilai, Indonesia merupakan negara yang punya risiko tinggi lantaran statusnya sebagai spot perang.
Banyak penemuan munition –senjata serta amunisi, seperti peluru, fusi, dan bubuk mesiu– sisa perang. “Masalahnya, yang menemukan banyak warga sipil. Mereka memegang dan membawa ordnance (peledak) itu tanpa memperhatikan standar keamanan,” tegas perempuan asal Magelang itu.
”Peledak yang terkubur, berapa pun lamanya, bisa memiliki dua kemungkinan. Yakni, menjadi kurang sensitif atau menjadi semakin sensitif. Risiko meledak pun sangat bisa terjadi,” paparnya.
Selain itu, penguasaan EOD dianggapnya sangat vital buat pertahanan negara. ”Kita tidak pernah tahu seperti apa kemungkinan perang di masa depan. Senjata biologis, yang selama ini cuma tahu lewat film, itu benar adanya,” papar Elsa.
Karenanya, dia berharap, program “sekolah” –seperti yang dia jalani di NAVSCOLEOD– bisa dilanjutkan oleh personel lain. Serta, dibuka seluas-luasnya untuk siapa pun, baik laki-laki maupun perempuan. Elsa menceritakan, selama pendidikan, tidak ada batasan gender. “Tidak ada perbedaan standar buat siswa perempuan dan laki-laki. Kemampuan dan ketelitian yang utama,” tegas Elsa.
MOMEN ”PALING” BUAT ELSA
MISI TERSULIT: ’’Kami pernah dimintai bantuan oleh satuan kami di Tarakan, Kalimantan Utara. Kabarnya, ada ranjau di tanah gambut. Kesulitannya, tanah masih tergenang, padahal sudah pakai kompresor untuk menyedot air. Mau melangkah pun susah, soalnya tanah enggak padat dan kami belum tahu karakteristik ranjau ini. Kalau salah injak, bisa fatal akibatnya.”
PALING TERKENANG SELAMA STUDI DI NAVSCOLEOD: ”Siswa di NAVSCOLEOD itu nggak boleh bawa pulang buku catatan. Padahal, tiap hari, materinya baru. Jadi, kalau mau belajar, kami memanfaatkan study hall sebelum kelas. Tiap jam 05.30–08.00, kami sudah mulai belajar di sana.”
TRIVIA
• Elsa mengadakan kelas terkait EOD seminggu sekali. Selain transfer ilmu untuk anggota unitnya, proses itu juga membantunya me-refresh ingatan
• Sejak kecil hingga SMA, Elsa bercita-cita menjadi dokter. Di kelas XII, dia didorong mendaftar ke Akademi Angkatan Udara (AAU) dengan tetap mengikuti tes SBMPTN sebagai cadangan.
• Karena menyukai olahraga, saat SMA, Elsa sering mengikuti pelatihan fisik untuk siswa yang berminat melanjutkan pendidikan sebagai anggota TNI.
Credit: Source link