Naiknya BBM Nonsubsidi Tak Akan Picu Inflasi

Butuh Penyederhanaan Kategorisasi Pembeli Pertalite

JawaPos.com – Kebijakan tak populer seperti menaikkan harga bahan bakar minyak (BBM) dan LPG nonsubsidi selalu memunculkan polemik. Meski begitu, Pertamina bergeming lantaran kenaikan itu masih terbilang wajar. Mengingat saat ini tren harga minyak dunia tetap berada di level yang tinggi.

Pengamat energi dari Reforminer Institute Komaidi Notonegoro menuturkan, Pertamina sebagai badan usaha memang memiliki hak menaikkan harga. ’’Sederhananya, kalau Pertamina belinya dengan harga naik, ya dia jualnya naik. Kalau belinya pas harga turun, ya dia jualnya turun,’’ ujarnya kepada Jawa Pos kemarin (11/7).

Sejauh ini, BBM nonsubsidi memang dikonsumsi oleh kalangan menengah ke atas. Porsi penggunaan BBM nonsubsidi berada di kisaran 6–7 juta kiloliter. Sementara itu, untuk BBM subsidi seperti pertalite saja, penggunaannya mencapai 28–30 juta kiloliter. Melihat perbandingan tersebut, dampak kenaikan harga BBM nonsubsidi diprediksi tidak akan terlalu besar.

Komaidi melanjutkan, kinerja keuangan Pertamina juga tentu akan terbantu dengan kenaikan itu. Dibandingkan apabila tidak menaikkan harga.

Senada, pengamat energi dari Universitas Gadjah Mada (UGM) Fahmy Radhi menyebut kebijakan itu bisa memperbaiki cash inflow Pertamina. Sama halnya dengan harga LPG nonsubsidi. Fahmy menilai kenaikan harga memang harus dilakukan. Pertamina harus menjual sesuai harga keekonomian. Sebab, penggunanya pun merupakan masyarakat kalangan menengah ke atas yang mampu.

Secara umum, lanjut dia, kebijakan kenaikan harga BBM dan LPG nonsubsidi tidak akan memicu lonjakan inflasi. Sebab, jumlah konsumennya terbilang kecil. ’’Biasanya orang kaya tidak suka gejolak,’’ katanya.

Fahmy juga menyinggung terkait BBM subsidi. Menurut dia, kebijakan Pertamina yang akan melakukan pembatasan pembelian pertalite memang diperlukan. Sebab, kebijakan itu bisa membantu menurunkan beban subsidi untuk APBN.

Fahmi menyebut, Pertamina bisa saja menyederhanakan kriteria pembatasan. Penggunaan MyPertamina pun dinilai tidak perlu. Sebab, jika kriteria disederhanakan, misalnya pertalite dan solar hanya untuk sepeda motor dan angkutan umum, hal itu disebutnya lebih efektif.

Sejauh ini, harga pertamax juga masih berada di bawah harga keekonomian. Pertamina masih mematok Rp 12.500 per liter. Padahal, untuk bensin dengan oktan atau RON 92, kompetitor sudah menetapkan harga sekitar Rp 17.000 per liter. Secara keekonomian, harga pasar telah mencapai Rp 17.950.

Meski begitu, Fahmy berharap Pertamina bisa mematok harga pertamax mendekati pertalite. Dengan begitu, masyarakat bisa bermigrasi dari pertalite ke pertamax yang lebih ramah lingkungan.


Credit: Source link