JawaPos.com – Pencabutan larangan ekspor minyak goreng, crude palm oil (CPO) dan turunannya dinilai sebagai langkah strategis dalam memulihkan perekonomian nasional. Hal itu disampaikan oleh Kepala Penelitian Center for Indonesian Policy Studies (CIPS) Felippa Ann Amanta.
“Walaupun begitu, pemerintah juga perlu fokus pada pembenahan tata niaga minyak goreng supaya pasokan terjaga dan harganya dapat dijangkau oleh semua lapisan masyarakat,” jelas dia, Jumat (20/5).
Ia menambahkan, langkah ini sangat diperlukan untuk memitigasi risiko krisis pangan ditingkat global. Pasalnya, harga CPO di pasar internasional melonjak sejak akhir 2021 dan terus meningkat seiring krisis Rusia dan Ukraina serta kebijakan larangan ekspor oleh Indonesia.
Indonesia sendiri memasok sekitar 60 persen dari total pasokan CPO dunia. Berkurangnya pasokan CPO di pasar internasional tentu berdampak pada banyak negara dan juga upaya pemulihan ekonomi.
Pencabutan pelarangan ekspor juga diharapkan turut berperan dalam pemulihan ekonomi, baik nasional maupun global. Indonesia adalah eksportir utama CPO, dengan nilai ekspor CPO sekitar USD 35 miliar pada tahun 2021.
Selain itu, ekspor produk olahan CPO juga cukup signifikan di kisaran USD 3 miliar. Pendapatan dari cukai ekspor digunakan untuk program-program BPDPKS, termasuk program peremajaan dan pengelolaan kelapa sawit yang berkelanjutan.
“Dalam jangka panjang, pemerintah perlu memperhatikan peningkatan permintaan CPO baik untuk minyak goreng, biodiesel, maupun produk olahan lainnya di Indonesia maupun di tingkat global,” ungkapnya.
Setelah pencabutan larangan ekspor CPO, harga eceran tertinggi (HET) minyak goreng curah serta subsidi untuk minyak goreng curah perlu dikaji ulang. “Pengenaan HET akan membuat pedagang enggan melepas stoknya ke pasar untuk minyak curah dan memperbesar terjadinya kelangkaan,” tandas dia.
Credit: Source link