Ada ungkapan bahwa lidah bisa lebih tajam daripada pedang. Maka, jaga kata-kata dan sikapmu. Berkomentarlah yang positif atau tahan ujaranmu daripada menyakiti orang lain.
—
MASIH kerap dijumpai orang-orang yang melakukan body shaming. Perilaku mengolok atau mempermalukan orang lain secara fisik. Misalnya, tentang kondisi tubuhnya atau tampilannya. Kata-kata seperti ”waduh, kamu sekarang kok endut banget”, ”ternyata kaki kamu bentuknya X ya?”, ”kamu kalau jalan kok bungkuk sih?”, ”idih, masih muda kok udah botak?, ”rambutmu tipis banget”, dan banyak lagi ujaran-ujaran yang sejenis.
Itu semua bisa disebut sebagai body shaming. Mengatakan sesuatu yang bikin orang lain tidak nyaman. Membuat mereka merasa ”there is something wrong with me”. Menciptakan rasa negatif pada orang lain. Dan, itu bukan hanya lewat kata-kata. Bisa juga lewat sikap atau bahasa tubuh kita.
Misalnya, melihat seseorang dari atas sampai ke bawah, geleng-geleng kepala seolah melecehkan, atau sikap tatapan merendahkan. Itu semua adalah sikap-sikap negatif yang tidak diharapkan oleh siapa pun. Kenal atau tidak kenal.
Apakah semua orang yang berkata-kata negatif semacam itu pasti orang jahat atau bermaksud jahat? Belum tentu. Meski memang ada yang sengaja ingin bikin orang lain tidak happy, mungkin karena sifat atau sirik. Tapi, ada juga yang karena kurang wawasan tentang manner atau tata krama. Atau bisa karena kurang peka untuk berempati.
Ada contoh yang termasuk ”sadis” tentang body shaming dari seseorang yang jelas kurang wawasan dan itu sangat menyakitkan. Baik bagi anaknya maupun orang tuanya. Seorang dewasa berjumpa dengan keluarga kerabatnya. Ketika melihat anak kerabat itu kurus dan tinggi (kakinya panjang), ini ujarannya (sambil seperti bercanda), ”Anak ini, manusia kok kaki semua!”
Bisa kita bayangkan bagaimana perasaan anak itu dan terutama ibunya mendengar seorang kerabat dewasa bisa bicara seperti itu? Mungkin maksudnya bercanda, tapi itu jelas canda yang sangat tidak cerdas, tidak bermutu, dan melukai orang lain.
Di sinilah, harus disadari bahwa secara soft skills, social skills itu harus kita pahami dan latih. Bagaimana kita berkata dan bersikap itu sangat menunjukkan bagaimana wawasan attitude (sikap pikir) kita. Di Amerika, belakangan muncul gerakan budaya non shaming.
Dilarang mengolok dan mempermalukan orang lain dalam hal apa pun. Fisik, gaya hidup, selera, kondisi ekonomi, pandangan-pandangan, atau apa pun. Itu dilakukan dalam rangka menerima/memahami (bukan pasti menyetujui) keberagaman yang ada. (*)
Nah, untuk positivitas kehadiran kita di masyarakat, inilah social skills yang perlu kita pahami dan latih:
a. Melihat dan menerima orang lain dengan tanpa bawa emosi atau ”drama”.
b. Sadari bahwa manusia itu
berbeda-beda secara kondisi dan cara.
c. Ramah dan tidak fokus pada keadaan mereka.
d. Fokus hanya pada positivitas kehadiran mereka.
e. Jaga kata dan sikap untuk menilai atau berkomentar.
f. Canda fisik hanya untuk sahabat yang sudah sangat akrab.
g. Canda fisik hanya boleh bila kita memang sudah saling ”mengizinkan”. Misalnya, panggilan-panggilan kesayangan satu sama lain: embul, embot, yuyus, kujang, dan sebagainya.
*) BABY JOEWONO, Founder & trainer of Baby Joewono Soft Skills Center
Credit: Source link