DENPASAR, BALIPOST.com – Keindahan alam, kehidupan sosial dan budaya Bali serta potensi yang dimiliki mendorong laju pembangunan yang kian meningkat. Lahan yang semula pertanian produktif pun beralih fungsi menyesuaikan dengan kebutuhan pembangunan dan penduduk. Di sisi lain, masih jarang anak muda Bali menekuni sektor ini sehingga banyak lahan di Bali yang sebenarnya produktif namun tak digarap maksimal. Untuk itu diperlukan kerja keras bersama serta strategi agar harapan Pj. Gubernur Bali, Mahendra Jaya, Bali mampu berdaulat dan meningkatan ketahanan pangan Bali.
Akademisi Pertanian dari Universitas Warmadewa Dr. Nengah Muliarta, saat Dialog Merah Putih, Rabu (4/10) mengatakan, harus dipahami tanah pertanian produktif itu seperti apa. Tanah produktif adalah tanah yang didayagunakan untuk usaha pertanian berfungsi untuk mendukung ketahanan pangan.
“Selama ini yang lebih banyak kita manfaatkan adalah lahan basah atau sawah dan lahan tegalan atau kering sering hanya digunakan sebagai cadangan dan belum didayagunakan secara maksimal,” ujarnya.
Berdasarkan hasil surveinya pada 2018, hampir 76% petani hanya petani penggarap, bukan pemilik lahan. Selain itu, kepemilikan lahan oleh petani juga kecil, rata-rata 0,5 ha. Alih fungsi lahan terjadi karena kepemilikan lahan yang bukan dimiliki oleh petani sehingga tinggal menunggu waktu untuk beralih fungsi.
Akademisi Pertanian Dwijendra Pande Made Ari Ananta Paramarta, S.P., M.Agb. mengatakan, pemanfaatan tanah produktif belum maksimal. Menurutnya, kuncinya adalah populasi orang yang memanfaatkan lahan produktif dalam hal ini petani. Sebagian besar adalah lansia. Sebesar 80% petani berusia di atas 60 tahun.
Maka dari itu pelaku pertanian muda harus ditingkatkan populasinya, karena hampir 80% populasi penduduk berusia muda lari ke luar sektor non pertanian, baik ke sektor pariwisata dan perbankan. “Bagaimana membuat system bertani agar generasi muda ini tertarik Bertani sehingga lahan produktif mampu dimaksimalkan, agar dapat meminimalisir alif fungsi lahan,” ujarnya.
Namun kenyataannya, petani muda ini sulit bergabung ke pertanian karena memandang sektor pertanian sebagai sektor yang kotor. Padahal jika generasi muda ini mengubah mindsetnya,dengan melihat sebagai sektor yang memiliki peluang tinggi, maka sektor ini tak kehabisan SDM.
“Karena lahan kerja semakin tinggi sementara orang yang bekerja di sektor pertanian semakin sedikit karena populasi lansia banyak yang tidak produktif. Alih fungsi lahan pertanian produktif juga terjadi karena tidak tergarap akibat kesulitan air,” ujarnya.
Ketua REI Bali Gede Suardita mengatakan, anggota DPD REI melakukan pembangunan pada lahan – lahan yang sesuai dengan peruntukan perumahan. Namun dalam prakteknya, ada pengusaha yang bekerja lurus sesuai swadharma namun ada juga yang nakal. “Cuma itu di luar asosiasi DPD REI,” tandasnya.
Ijin perumahan menurutnya akan dikeluarkan bagi pengusaha yang memiliki fokus pada bidang pengembangan perumahan atau harus memiliki karya, sedangkan di luar itu, masuk dalam kategori pengembang bodong. “Namun pada prakteknya, oknum itu masih bisa bermain mata dengan pemangku regulasi. Begitu mengajukan izin, oleh oknum di pemerintahan bisa bermain, izin bisa keluar padahal yang mengajukan ijin adalah perorangan namun digunakan untuk pengembangan perumahan,” ungkapnya.
Ke depannya, dengan adanya pertumbuhan penduduk, backlog perumahan di Bali sebesar 15.000. REI sendiri mampu membangun 5.000 unit, sehingga backlog tidak signifikan menurun. Untuk menghindari alih fungsi lahan pertanian yang semakin massif, maka REI sendiri telah mengusulkan untuk membangun hunian vertical, karena jika Pembangunan horizontal terus dilakukan maka lahan akan terus tergerus. (Citta Maya/balipost)
Credit: Source link