Utang Luar Negeri RI Turun Jadi USD 403 Miliar Per Juni 2022

JawaPos.com- Bank Indonesia (BI) melaporkan utang luar negeri (ULN) Indonesia menurun dari 412,6 miliar dolar AS pada triwulan I 2022 menjadi 403 miliar dolar AS pada triwulan II 2022, yang disebabkan penurunan ULN sektor publik dan swasta.

Direktur Eksekutif Kepala Departemen Komunikasi BI Erwin Haryono dalam keterangan resmi di Jakarta, Senin, menyampaikan secara tahunan, posisi ULN triwulan II 2022 terkontraksi 3,4 persen jika dibandingkan dengan periode yang sama tahun sebelumnya (year-on-year/yoy), lebih dalam dibandingkan dengan kontraksi pada triwulan sebelumnya yang sebesar 0,9 persen (yoy).

Posisi ULN pemerintah pada triwulan II 2022 sebesar 187,3 miliar dolar AS, turun dibandingkan dengan posisi ULN pada triwulan sebelumnya sebesar 196,2 miliar dolar AS. Secara tahunan, ULN pemerintah mengalami kontraksi sebesar 8,6 persen (yoy), lebih dalam dibandingkan dengan kontraksi pada triwulan sebelumnya yang sebesar 3,4 persen (yoy).

Penurunan posisi ULN pemerintah antara lain karena adanya pelunasan pinjaman bilateral, komersial, dan multilateral yang jatuh tempo selama periode April hingga Juni 2022. Pelunasan Surat Berharga Negara (SBN) domestik yang jatuh tempo juga turut mendukung penurunan ULN pemerintah di triwulan laporan.

Di samping itu, ia menjelaskan volatilitas di pasar keuangan global yang cenderung tinggi juga berpengaruh pada perpindahan investasi SBN domestik ke instrumen lain, sehingga mengurangi porsi kepemilikan investor nonresiden pada SBN domestik.

Penarikan ULN pada triwulan II 2022 masih diutamakan untuk mendukung belanja prioritas pemerintah, termasuk penanganan COVID-19 dan program Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN). Pemerintah berkomitmen tetap menjaga kredibilitas dengan memenuhi kewajiban pembayaran pokok dan bunga utang secara tepat waktu, serta mengelola ULN secara hati-hati, kredibel, dan akuntabel.

Erwin menjabarkan, dukungan ULN pemerintah dalam memenuhi kebutuhan belanja prioritas pada triwulan-II 2022 antara lain mencakup sektor jasa kesehatan dan kegiatan sosial (24,6 persen dari total ULN pemerintah), sektor jasa pendidikan (16,6 persen), serta sektor administrasi pemerintah, pertahanan, dan jaminan sosial wajib (15,1 persen).

Kemudian, untuk sektor konstruksi (14,2 persen), serta sektor jasa keuangan dan asuransi (11,7 persen). Posisi ULN pemerintah relatif aman dan terkendali mengingat hampir seluruh ULN memiliki tenor jangka panjang dengan pangsa mencapai 99,7 persen dari total ULN pemerintah.

Perkembangan tersebut disebabkan oleh ULN lembaga keuangan yang terkontraksi 0,2 persen (yoy), lebih rendah dibandingkan triwulan sebelumnya yang minus lima persen (yoy). Adapun ULN perusahaan bukan lembaga keuangan juga terkontraksi sebesar 1,3 persen (yoy), lebih dalam dari kontraksi pada triwulan sebelumnya sebesar 0,5 persen (yoy).

Berdasarkan sektornya, ULN swasta terbesar bersumber dari sektor jasa keuangan dan asuransi, sektor pengadaan listrik, gas, uap/air panas, dan udara dingin, sektor pertambangan dan penggalian, serta sektor industri pengolahan dengan pangsa mencapai 77,3 persen dari total ULN swasta. ULN tersebut tetap didominasi oleh ULN jangka panjang dengan pangsa mencapai 74,5 persen terhadap total ULN swasta.

Secara keseluruhan, ia menjelaskan ULN Indonesia pada triwulan II-2022 tetap terkendali, tercermin dari rasio ULN Indonesia terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) yang tetap terjaga di kisaran 31,8 persen, menurun dibandingkan dengan rasio pada triwulan sebelumnya sebesar 33,8 persen.

Selain itu, struktur ULN Indonesia tetap sehat, ditunjukkan oleh dominasi ULN berjangka panjang, dengan pangsa mencapai 86,7 persen dari total ULN. Dalam menjaga agar struktur ULN tetap sehat, BI dan pemerintah terus memperkuat koordinasi dalam pemantauan perkembangan ULN, didukung oleh penerapan prinsip kehati-hatian dalam pengelolaannya.

Peran ULN juga akan terus dioptimalkan dalam menopang pembiayaan pembangunan dan mendorong pemulihan ekonomi nasional, dengan meminimalisasi risiko yang dapat mempengaruhi stabilitas perekonomian.

Editor : Mohamad Nur Asikin

Reporter : Antara


Credit: Source link