Tak Bisa Bayar Sewa Akibat Pandemi, 20.000an Warteg Terpaksa Tutup

JawaPos.com – Kebijakan Program Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM) yang diterapkan di wilayah Jakarta dan Bali serta pembatasan aktivitas masyarakat di beberapa daerah lainnya membuat pengusaha warung tegal (warteg) ikut menjerit. Ketua Koordinator Komunitas Warung Tegal Nusantara (Kowantara) Mukroni mengungkapkan usaha warteg yang berjumlah sekitar 40 hingga 50 ribuan, hampir separuhnya terpaksa gulung tikar lantaran kesulitan membayar sewa.

“Separuhnya 50 ribu Jabodetabek. Sebenarnya hampir setengahnya di wilayah Jabodetabek sudah (tutup),” ujarnya saat dihubungi oleh JawaPos.com, Rabu (13/1).

Mukroni mengaku, kebijakan pembatasan wilayah berujung pada pembatasan jam operasional warteg. Sehingga berdampak pada kesulitan penjualan.

Sementara, sewa tempat usaha terus berjalan. Sebagian besar warteg kesulitan membayar uang sewa karena keuntungan penjualan yang ke kecil.

“Dengan kondisi setahun, warteg mengalami kesulitan usaha, sementara sewa argo usaha berjalan. Setahun nggak untuk untung untuk mengisi ke kontrakan. Jadi ya sudah stop aja,” tuturnya.

Mukroni menyebut, pangsa pasar warteg merupakan orang yang berpenghasilan rendah. Namun, seiring dengan kondisi perekonomian yang makin sulit dan tergerus oleh pandemi, maka daya beli konsumennya juga makin rendah.

“Daya beli semakin berkurang malah, tambah pelit dari yang tadinya belanja royal mungkin, tadinya nggak ada PHK pengangguran, orang juga yang usaha mulai mengencangkan ikat pinggang,” ucapnya.

Mukroni melanjutkan, usaha warteg pun juga ragu untuk berekspansi karena budget untuk investasi pun terus tergerus. Bahkan, untuk memperpanjang sewa kontrak pun banyak yang ragu.

“Toh kalau dia punya investasi juga ragu karena akan mubazir untuk melakukan perpanjangan kontrakan,” ucapnya.

Ia menambahkan, penerapan pembatasan yang tak tau kapan berakhirnya membuat para pengusaha warteg memutuskan untuk kembali ke kampung halaman. Sebab, jika terus bertahan di perantauan terasa makin mencekik.

“Kebanyakan kan mereka punya dua kehidupan. Di kampung dan di Jakarta. Harus bayar listrik dan kehidupan di sana dan di sini. Jadi, kebanyakan yang pulang kampung,” pungkasnya.

Editor : Estu Suryowati

Reporter : Romys Binekasri


Credit: Source link